Banyaknya kafe atau tempat ngopi menjadi pemandangan yang tidak asing bagi remaja di era sekarang. Bagaimana tidak, setiap jalanan kota sudah banyak sekali kafe yang biasa disebut sebagai "tongkrongan" bagi anak muda dan sudah menjadi budaya mereka.Â
Fenomena merebaknya kafe yang digandrungi anak muda khususnya diperkotaan menjadi hal yang biasa, karenanya hal ini menjadi kebiasaan anak muda untuk nongkrong di kafe agar terlihat seperti kekinian atau tidak ketinggalan jaman. Melihat eksistensi kafe di perkotaan mengakibatkan anak muda semakin sering pergi nongkrong dengan teman-temannya. Tidak sedikit pula yang nongkrong hingga larut malam, akibatnya kurang mendapat waktu bersama keluarga.
Hadirnya kafe sebagai alternatif nongkrong anak muda era sekarang ini banyak menimbulkan strotype yang menjadikan anak muda sebagai pribadi yang konsumtif dan gemar menghabiskan uang hanya untuk sekedar nongkrong. Hal ini terlihat dari beberapa kafe yang bagus dan terlihat estetik menjadi pilihan bagi setiap anak muda yang ingin nongkrong.Â
Harga yang ditawarkan untuk satu gelas kopi atau minuman cukup bervariatif, dari pengalaman saya sendiri harganya relatif standart di angka Rp. 20.000 keatas.Â
Memang bagi setiap anak muda jaman sekarang kebiasaan nongkrong menjadi rutinitas yang perlu dilakukan untuk mengatasi kebosanan akan rutinitas sehari-hari atau akibat dari lelahnya tugas yang menumpuk. Tapi menurut saya harga yang dibandrol ini cukup murah untuk sekali dalam sebulan akan tetapi banyak ditemukan teman-teman saya yang nongkrong selama 3-4 kali seminggu, dapat dihitung berapa jumlah uang yang dikeluarkan dan belum juga untuk makanan.
Dari pandangan yang saya amati atas fenomena ini, anak muda yang gemar nongkrong di kafe cenderung ingin menunjukan jati dirinya sebagai remaja. Artinya mereka ingin diakui oleh sesama temannya bahwa mereka juga anak kekinian dan suka bepergian. Selain itu nongkrong di tempat yang memiliki harga cukup mahal rela dijadikan tempat ngopi bersama teman karena disisi lain saya lihat adanya gengsi dari dalam diri.Â
Saya rasa hal ini kurang dapat diterima bila budaya nongkrong diartikan sebagai aksi unjuk diri bukan sebagai aksi untuk bertukar cerita, sharing dan memenuhi kebutuhan minum kopi itu sendiri. Waktu yang diberikan anak muda terhadap "tongkrongan" relatif sangat besar. Mereka senang berkumpul bersama teman dan sekedar menghabiskan waktu untuk minum kopi.Â
Beberapa orang menyebut bahwa anak muda yang sering nongkrong dijuluki sebagai "bocah tongkrongan", hal ini tak sedikit anak muda yang bangga atas labelling yang diterima dari masyarakat. Mereka seolah merasa bahwa dirinya mampu dan bisa bergaul serta menjadi sosok yang humble karena sangat gampang untuk diajak nongkrong.Â
Akan tetapi banyak juga remaja yang kurang waktu bersama keluarga karena aktivitas nongkrongnya yang berlebihan. Hal tersebut kurang mencerminkan anak muda yang memiliki integritas tinggi. Artinya dalam hal ini bisa saja lahir anggapan bahwa remaja yang gemar nongkrong dianggap sebagai pengangguran.Â
Waktu bersama keluarga sangat penting memang ditengah maraknya kafe-kafe yang hadir diperkotaan. Budaya nongkrong boleh saja dilakukan, akan tetapi seharusnya juga mellihat urgensinya yang terjadi dan dapat membagi waktu untuk diri sendiri, keluarga, dan teman. Padahal setidaknya ada waktu yang harus disisihkan untuk menetralisir pikiran kita sendiri serta menyisihkan waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga. Dari sini banyak sekali baik dan buruknya budaya nongkrong di kafe yang kadang salah di mata pemuda serta mengesampingkan kebutuhan nongkrong itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI