Mohon tunggu...
Putro
Putro Mohon Tunggu... Cleaning Service -

Kesederhanaan dalam kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Renungan Pojok Cafe

2 Juli 2013   18:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:06 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sudahkah hidup saya berguna bagi hidup orang lain?


Kira-kira begitulah sepenggal kata-kata yang ‘menghantui’ saya belakangan ini. Di usia yang sudah tidak dapat dikategorikan muda lagi, saya merasa belum pernah melakukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat serta syafaat bagi orang lain.

Pernah ada seorang sahabat yang mengatakan kepada saya:

Kesuksesan seseorang itu bukanlah terletak dari berapa besarnya jumlah nominal yang tertera di dalam buku tabungan, melainkan dari berapa besarnya pengaruh positif yang dapat kita berikan kepada orang lain. Seberapa besar?


Besarnya pengaruh positif tersebut hanya orang lain yang akan menilai.

Sejujurnya, pikiran saya ini tergerak saat saya sedang menyaksikan tayangan salah satu televisi swasta beberapa hari lalu, tentang seorang lelaki muda di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mengelola yayasan bagi penyembuhan orang dengan ganguan kejiwaan.

Yayasan tersebut memiliki nama cukup unik; Keris Nangtung. Atau Keris ‘Berdiri’. Entah apa makna di balik penamaan yayasan tersebut. Yang jelas, yayasan tersebut berhasil mengumpulkan dan menyembuhkan ratusan penyandang cacat mental, dan mengembalikan kepada keluarganya.

Saya membayangkan perasaan haru campur bahagia yang meliputi keluarga yang telah kehilangan salah satu anggotanya, dan kini kembali dalam keadaan sehat. Luar biasa!

Keris Nangtung adalah salah satu dari sekian banyak lembaga/yayasan sosial yang telah berhasil membantu masyarakat Indonesia. Tidak hanya mereka, saya juga kerap menemui banyaknya penelitian-penelitian sains yang juga sama mulianya, membantu sebagian besar msyarakat Indonesia.

—-

Kebaikan memang tidak selalu harus dirasakan oleh orang banyak. Kebaikan-kebaikan ‘kecil’ juga dapat berdampak bagi sebagian orang. Masih belum lekang dari ingatan kita, saat salah satu mubaligh Indonesia, Ustad Jefri Al-Buchary meninggal dunia, betapa banyak masyarakat yang menghantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Peristiwa pemakaman ustad ‘gaul’ tersebut seolah membenarkan hukum timbal balik yang menyebutkan; tanam kebaikan maka akan pula ‘berbuah’ kebaikan.


Walaupun tidak semua kebaikan akan berdampak langsung kepada kita, namun ‘doa’ terima kasih dari sang penerima kebaikan tentunya akan selamanya menyertai langkah kita, bukan?

Yah, setidaknya itulah yang saya pelajari dari literatur ‘lisan’ para orang tua mengenai kebaikan. Seperti melaksanakan ibadah di dalam sebuah tempat maksiat, kebaikan itu pun tidak mengenal tempat dan asal-usul. Selamanya kebaikan akan menjadi kebaikan yang menjadi ‘portfolio’ hidup kita di dunia.

Kira-kira, beitulah kegusaran hati saya. Kegusaran yang menjadi-jadi dalam sebuah renungan pojok cafe, yang selama beberapa bulan terakhir telah menjadi ‘kantor’ tidak tetap saya. Kegusaran yang semoga bisa terealisasi menjadi sebuah manfaat.

Jadi, perbuatan baik apa yang telah Anda lakukan hari ini?

Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun