Mohon tunggu...
Putroe Aliya Ricinta
Putroe Aliya Ricinta Mohon Tunggu... Mahasiswa - still learning

bio is loading

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penanganan Limbah B3 Medis Covid-19 di Aceh

7 April 2022   00:11 Diperbarui: 7 April 2022   00:27 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Limbah B3 Medis, https://images.app.goo.gl/pTCSapM1za322k749

Setiap wilayah di Indonesia berusaha mengatasi wabah Covid-19, termasuk Aceh. Saat ini aktivitas sehari-hari mengalami perubahan dengan peraturan memenuhi protokol kesehatan dalam rangka memutus rantai penyebaran Covid-19. Protokol kesehatan yang dijalankan dengan menciptakan gaya hidup 5M yaitu menjauhi kerumunan, menjaga jarak, mencuci tangan, memakai masker dan membatasi mobilitasi.

Saat ini kesehatan menjadi prioritas semua orang, “sehat” bukan berarti hanya melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi gizi seimbang dan mengecek kesehatan. Tetapi, jika lingkungan disekitar kita tidak layak (kotor) maka akan mempengaruhi kesehatan manusia.

Kenyataan saat ini, gaya hidup atau aktivitas yang selama pandemi ini kita lakukan dengan menggunakan alat-alat pelindung diri. Oleh karena itu, selain saat pandemi Covid-19 mendatangkan penyakit melainkan pandemi Covid-19 juga menambah limbah B3 medis yang dapat menimbulkan dampak pencemaran bagi lingkungan, seperti terjadinya penumpukan limbah B3 medis berupa masker, sarung tangan, Alat Pelindung Diri (APD), botol handsanitizer dan botol sabun cuci tangan.

Sudah tidak mengagetkan lagi bahwa setelah pandemi dalam proses normalisasi endemi, terdapat dampak dari pandemi Covid-19 yaitu menumpuknya limbah B3 medis yang menjadi permasalahan baik saat pandemi berlangsung maupun setelah pandemi.

Pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa sekarang ini transisi penyakit Covid-19 memasuki endemi. Dalam proses menuju normalisasi endemi bukan berarti kasus Covid-19 tidak ada lagi melainkan kasus akan ada. Perlu kita ketahui bahwa, walaupun pemerintah Indonesia menyatakan hal demikian, terdapat salah satu aspek yang penting sehingga aspek ini tidak boleh dilupakan dalam penanganan wabah yaitu penanganan limbah medis dengan karakter limbah infeksius yang dihasilkan dari pasien dan petugas medis yang secara langsung terpapar dengan virus Covid-19 saat penanganan pasien. Limbah medis termasuk dala kategori limbah bahan berbahaya beracun (B3). Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk memutuskan rantai penyebaran virus yaitu dengan pengelolaan limbah medis infeksius secara benar dan sesuai prosedur.

Pengelolaan limbah medis diatur dalam Peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 Tahun 2015 tentang tata cara dan persyaratan teknis pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dari fasilitas pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu, pengelolaan limbah medis berbasis wilayah juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 18 Tahun 2020 bahwa pengelolaan limbah medis belum optimal dikarenakan jumlah dan kapasitas pengelola masih terbatas dan tidak seimbang dengan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang menghasilkan limbah medis. Sehingga perlu dukungan pemerintah daerah untuk memfasilitasi pengelolaan limbah medis di wilayahnya.

Pemerintah aceh telah menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) terkait pengolahan limbah B3 medis umum dan B3 Covid-19 (Dinkes Aceh Provinsi, 22/9/2021). Rapat berlangsung dan membahas mengenai Operasional Incinerator UPTD Balai Penanganan Sampah Regional di Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar yang hingga saat ini masih menerima izin pengoperasian dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh Bapak A Hanan mengungkapkan bahwa “Sebelumnya kita sudah mengajukan izin lingkungan ke KLHK namun, hingga saat ini izin tersebut belum dikeluarkan” (Dinkes Aceh Provinsi, 22/9/2021).

Pihak Balai Penanganan Sampah Regional di Blang Padang telah memberikan izin sehingga tidak terjadinya penumpukan limbah medis dan limbah medis di Aceh segera mendapatkan pengelolaan yang sesuai. Sebenarnya, mesin Insinerator atau alat pengolahan limbah padat RS dengan kapasitas 300 kilogram per jam sudah dilakukan uji coba pada awal Januari 2021 lalu tetapi pada tahun September 2021 sangat disayangkan bahwa fasilitas tersebut masih belum dapat dioperasikan karena belum memiliki izin lingkungan yang katanya Insinerator tersebut tidak beralokasi di kawasan industrial.

Namun, bukan berarti bahwa selama pandemi lalu limbah medis tidak ditangani oleh Dinas Kebersihan. Salah satu Rumah Sakit yang mengolah limbah medis B3 yaitu RSUDZA dengan menggunakan Insinerator yang nantinya limbah medis padat akan dibakar dan sisanya diambil oleh Dinas Kebersihan dan diserahkan ke pihak ketiga untuk pemusnahan limbah tersebut.

Sangat disayangkan bahwa, Insinerator di RSUDZA sudah berusia 15 tahun lamanya yang artinya Insinerator tersebut sudah tidak lagi optimal beroperasi mengingat usia mesin yang sudah tua. Hanan juga mengatakan “perlunya dukungan Insinerator bantuan KLHK yang ada di Balai Penanganan Sampah Regional (BPSR) Aceh untuk dioperasikan,” ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun