Perang antara rusia dan ukraina merupakan perang terbesar yang terjadi hingga saat ini. Rusia merupakan negara yang sangat berpengaruh dan memiliki keterikatan dengan banyak negara, sehingga perang yang terjadi sangat merugikan banyak negara dari berbagai aspek. Seperti aspek energi, sumber daya , bahkan aspek dari nilai tukar mata uang juga terpengaruhi. GCRG atau Global Crisis Response Group telah mencatat ratusan negara sangat dirugikan dalam pemerosotan nilai mata uangnya dengan dolar Amerika Serikat akibat dari perang yang terjadi.Â
Dalam Media Briefing Sekretaris Kementrian Koordinator bidang perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan bahwa dengan total 142 negara berkembang mata uangnya terdepresiasi dengan rata-rata 2,8 % terhadap dolar AS tepat setelah 100 hari perang terjadi. Hal ini menyebabkan 60 % negara -- negara termiskin mengalami kesulitan utang dengan risiko yang tinggi.
Nilai kurs mata uang rupiah sendiri juga mengalami depresiasi sepanjang awal 2022 karena adanya disrupsi global. Â Sehingga pelemahan nilai rupiah mencapai 0,33 % dibandingkan dengan posisi akhir pada tahun 2021. Namun, Indonesia masih dianggap lebih baik daripada Malaysia karena pelemahan mata uang ringgit mencapai 1,15 %Â year to date. Tidak hanya itu, mata uang India dan Thailand juga terdepresiasi mencapai 1,73 % dan 3,15 % year to date.
Seorang analis pasar uang Ariston Tjendra mengatakan bahwa nilai tukar mata uang rupiah masih dibawah tekanan dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini disebabkan karena perang antar keduanya masih terus berlangsung dan belom menunjukkan adanya perdamaian.
Perang yang terjadi sangatlaj menghambat kegiatan ekonomi terbuka sehingga ketidak stabilan mata uang memicu terjadinya inflasi dan kenaikkan harga dari berbagai komoditi serta pertumbuhan ekonomi global sangatlah terhambat. Tentunya apabila perang tidak segera diselesaikan maka indonesia akan terus mengalami penurunan nilai mata uang sehingga banyak aspek yang terhambat.
Akhir-akhir ini Indonesia terus mengalami masalah dalam kurs mata uang sehingga Bank Indoneia (BI) memprediksi penuruna kurs rupiah akan menembus hingga angka Rp. 16.000-an per dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini dapat memberikan dampak yang besar bagi Indonesia sendiri seperti melambungnya tingkat inflasi. Segala macam barang di dalam negeri akan mengalami kenaikkan harga, terutama barang atau produk dengan bahan baku impor.
Contohnya kedelai yang sering dikatakan Impor jika harganya US$3 kemudian nilai tukar rupiahnya adalah Rp. 10.000 per US$1 dan melemah hingga Rp. 15.000 per US$1, maka harga dari kedelai tersebut akan naik menjadi Rp. 45.000 dari sebelimny yang berharga Rp. 30.000. dari sini artinya produsen akan menjual produknya dengan harga yang lebih mahal karena selain bahan baku yang meningkat ongkos produksinya juga meningkat. Apabila harga tidak dinaikkan maka akan terjadi kerugian.
Kemudian pesanan dari para eksportir akan menyusut. Para eksportir khususnya yang masih bergantung pada barang impor akan mengalami penyusutan order akibat kenikkan harga produknya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dengan melemahnya nilai rupiah harga jual produk akan semakin mahal tidak hanya dalam negeri, tetapi juga di luar negeri harga jual naik sehingga produknya tidak lagi kompetif.Â
Dampak yang terjadi terhadap eksportir akibat melemahnya nilai tukar seperti, permintaan barang akan menurun karena harga yang meninggi sehingga penjualan menjadi lesu dan produsen kehilangan pelanggan. Kemudian persaingan akan menjadi semakin ketat karena terdapat produk diluar sana yang sama namun harganya lebih murah. Dan akan terjadi pengurangan pesana dari setiap importir dari negara luar.
Kemudian dampak yang terjadi juga memicu defisit neraca perdagangan dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Karena biaya yang tinggi dalam produksi barang maka produsen dapat dengan mudah memutuskan hubungan kerja kepada pekerjanya demi mengatasi biaya produksi yang meningkat. Bila daya beli masyarakat berkurang maka mereka akan mengurangi konsumsinya. Hal ini menyebabkan  banyak barang yang tidak habis terjual. Sehingga produsen masih memiliki banyak stok dan produksi berkurang atau bahan terhenti. Jika demikian, mau tidak mau industri akan mengurangi jumlah karyawannya dengan PHK.
Depresiasi rupiah berdampak besar pada kegiatan ekspor dan impor. sehingga harga barang-barang impor akan meningkat karena nilai mata uang kita yang menurun dibanding Dolar AS dan jatuhnya berbagai mata uang asing lainnya. Pengguna barang impor juga harus mengeluarkan uang lebih besar untuk barang yang dibelinya, sedangkan sebagian dari barang yang diimpor Indonesia adalah barang yang tergolong modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur.
Di sisi lain, para pembisnis juga harus menanggung biaya produksi tambahan seperti bunga pinjaman dan gaji pegawai. Biaya tenaga kerja juga merupakan satu-satunya aspek yang dapat dikurangi. Ini mengimplikasikan bahwa jika biaya manufaktur dianggap terlalu tinggi, korporasi mungkin berhenti menaikkan kompensasi, mengurangi insentif, atau bahkan memberhentikan karyawannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H