Manila, 1944.
      Di kehidupanku ini, siapa yang bakal peduli kapan dan pukul berapa aku mati? Tak terpikirkan pula olehku, aku yang tak memiliki apapun kecuali nama dan jiwa tersakiti, bakal mati dengan cara seperti ini. Aku tak percaya bakal menemui Tuhan hanya untuk bersaksi bahwa aku mengaku kalah atas hidup yang selama ini kuperjuangkan dan kujalani.
      Aku dibiarkan mangkrak begitu saja di atas ranjang dorong, di ruang terapi memegang alat tulis. Bibir benyot, liur menetes-netes seperti anjing, dan kepala penceng ke kiri. Para suster, perawat, bidan, dokter, bahkan tukang sikat kakus sekalipun sudah ambyar, lari kocar-kacir mendengar raung sirene, memekikkan bentrok antara tentara Jepang dan Amerika Serikat yang dua tahun lalu mengaku kalah tapi balik kucing. Peluru melubangi dinding bata-semen, memecahkan kaca, mengoyak tirai. Tubuhku terpancang di atas ranjang. Jangankan mengesot, bangkit menegakkan punggung aku tak mampu.
      Siapa yang terakhir kau ajak bicara di menit-menit terakhir sebelum kau mati kalau bukan dirimu sendiri? Jemari ambruk, pensil tegak sebentar lalu mengeloyor, kertas putih basah dihujani liur, kepala semakin miring, sandaran sudah longsor. Aku tak berdaya sama sekali. Pada sebuah pensil dan secarik kertas sengak, hidupku sekarang ini bertumpu;
      Odesa Carmelita, sayang, ampunilah aku. Mana bisa aku melupakan mawar putih dan Pawai Kematian? Aku ingin lupa, aku ingin menghapus bersih segala, lalu membawa kehidupan ini pada babak baru. Ampunilah aku. Kasihanilah aku, sayangku Odesa Carmelita. Dua belas pohon randu yang menggagahimu sebenarnya adalah serdadu, salah satunya...justru Komandan Asahi yang mengaku kekasihmu. Sedangkan aku membungkam mulutmu, merantai kakimu, melumpuhkan daya pikirmu, dengan mengatakan bahwa bayang-bayang hitam bercapil itu hanyalah pokok-pokok randu yang belum ditebang. Semua, agar kau tak menanggung malu.
      Sayangku Odesa Carmelita tak pernah tanggal memasang mawar putih di saku kemejanya setiap hari Senin pertama di bulan Desember, karena ia yatim piatu, karena lembab tengik bilik pelacuran tak lain adalah rahim yang meloloskanmu di ujung bumi yang lara ini. Sayangku, mana mampu kau mengampuniku? Di bulan yang sama, belum sempurna kau jadi wanita, tubuh kerempengmu diarak menuju Bulacan perkara Jepang tiba di Luzon melucuti segala kepemilikan tentara Amerika Serikat, juga jiwa dan ragamu yang masih kanak itu.
      Masih di bulan yang sama, ketika dongengmu berlumuran jaya Amerika Serikat, kau mendengar Amerika Serikat mundur dari Usaffe, menumbalkan Manila menjadi Kota Terbuka. Belum pula genap satu minggu, tahun baru, 1942, bukankah bulan ini adalah hari esok yang didamba masa lalu 1941? Lantas mengapa, kau, sayangku Odesa Carmelita menjadi babu di kamp serdadu? Menyisiri rimba-rimba, mengotes tumbuhan obat, meramunya untuk menyembuhkan satu peleton manusia yang pikirannya cuma ingin menggilirmu satu per satu, menghajarmu bertubi-tubi hingga kau hampir lupa siapa nian dirimu?
      Aku bersaksi padamu, sayangku Odesa Carmelita, kau jangan pernah mengampuniku, sekalipun aku memintanya dengan pilu. Ke mana Amerika Serikat, para tuan, saat kau dan perempuan sebangsamu dilepas begitu saja di kandang Jepang? Para komandan, brigadir, jenderal, mungkin juga tentara bayaran yang lama bersarang di nadi, pusar, dan jantung Filipina, mengapa mereka menyerahkan Butaan begitu saja lalu kabur ke Australia? Kemudian dengan entengnya pengecut itu bersumpah untuk kembali, demi meredam kekalutan sentero anak bangsa?
      Sayangku Odesa Carmelita, aku gagal memberimu perlindungan, maka tak apa bila tak ada ampun bagiku. Seluruh hidupmu, darimana kau petik cinta kasih saat seluruh tanahmu terjamah nestapa? Komandan Asahi memberimu satu pisang dan segelas teh manis, lalu berbuat sesukanya, kalau sudah bosan kau dilempar, digilir tentara bawahannya. Masih, kau anggap ini kebaikan darinya. Tentu saja, sayangku Odesa Carmelita, tak ada kebaikan pun bahkan sebesar biji sawi yang tersedia untukmu, sampai kekejaman pun kau anggap ada baiknya.
      Jepang datang untuk menolong siapa? Amerika Serikat menetap untuk melindungi siapa? Mengapa kau babak belur, sayangku, ketika dua bangsa digdaya saling berebut untuk menjanjikan perlindungan padamu? Mengapa keduanya tak sanggup menolong satu saja gadis cilik yatim piatu?
      Meskipun begitu, kau mengais welas pada Komandan Asahi, "Tuan, kumohon selamatkan aku." Kau diusungnya ke sebuah bilik, dipatahkannya tanganmu, direntangkan untuk dihidangkan pada serdadunya yang penuh nafsu. Kau tak bisa berjalan setelah itu. Kau tak mungkin bisa menggunakan dua kakimu untuk lari, dan kau tak mungkin punya pilihan lain selain mengharapkan mati, "Duh Bapa, mana bisa hamba menanggung derita yang lebih hebat dari semua ini? Hamba ingin pulang, kasihanilah hamba, hamba ingin pulang."
      Bapa di surga, malam itu tak mengutus malaikat untuk mengantarmu pulang, ia mengutus gerilyawan. "Anak manis, rupamu sudah ringsek begini, siapa namamu?" Ia bertanya, peluhnya terus mengucur bersama deras air mata. Sayangku, kau sudah lupa siapa namamu, dan saat itu mulutmu hanya bisa berkata, "Tuan selamatkan aku."
      Gerilyawan yang memandumu ke rumah sakit, betul, lelaki baik itu, adalah mayat yang tumbang di antara sekian ribu di siang bolong Pawai Kematian. Pada akhirnya, siapa yang bisa kau mintai tolong selain saudara sebangsamu sendiri? Pada akhirnya, siapa yang bisa kau ajak bicara kecuali dirimu sendiri? Pada akhirnya, dengan siapa kau berjalan menuju pintu kematian kalau bukan dengan dirimu yang malang ini?
      Ampun sayangku, ampun, meskipun aku ini tak terampuni. Semestinya, aku tak minta pertolongan pada Komandan Asahi. Semestinya, aku tak menanti Amerika Serikat. Semestinya, aku mencari saudara sebangsaku sendiri. Sayangku, Odesa Carmelita, sampai mati, kau mesti bersumpah takkan memaafkan semua ini. Aku mana bisa mengatakan, nestapa ini bukan kau seorang yang mengalami. Anak perempuan lainnya, juga bahkan perempuan jompo juga bernasib sepertimu. Sungguh celaka bila aku menggunakan alasan ini untuk meredam prahara yang menimpamu. Betapa keji bila aku menganggap, wanita di zaman ini memang sudah takdirnya menderita seperti itu.
     Mana bisa aku menerimanya, meskipun di rumah sakit banyak bidan yang menghibur dengan dalih gila semacam, "Ini sudah takdir, ini sudah zamannya." Ternyata banyak juga, umat alim nan waras, juga berpendidikan, yang mengatakan Bapa di surga bersekongkol dengan Jepang, mencantumkan Jepang di atas buku takdir agar bisa menumpas umat manusia sedemikian rupa. Sayangku, kau sudah babak belur begini, dan nuranimu kian dirusak oleh mereka yang lebih sehat wal afiat, cerdas, dan bermartabat.
      Sayangku Odesa Carmelita, bumi kita berdua bergemuruh pasrah. Kau hanya menerima satu kebaikan di alam ini, disodorkan secara percuma oleh gerilyawan sebangsamu, itupun ia mati di Pawai Kematian. Jangankan yang pengecut, yang paling berani di antara kita, tumpas sudah.
       Jiwaku, kehidupanku, aku, telah luluh lantak, tak terampuni, dan dirawat karena dikasihani. Tapi, Odesa Carmelita sayangku, jangan pernah sekali-kali kau mengira aku tak menyayangimu. Jangan sekali-kali kau menerka bahwa tidak ada satu hal pun darimu yang aku sayangi. Kau harus ingat, bahkan saat kau menapaki ruas jalan menuju penghabisan, cintaku padamu tak kurang barang satu embusan napas. Pada akhirnya, sayangku, siapa yang mencintaimu sedemikian tulusnya kalau bukan dirimu sendiri? Pada
***
Berhenti.
Peluru melubangi jendela kaca, mendarat di pelipis kiri Odesa Carmelita. Tiada salam perpisahan terucap di suratnya, surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H