Mohon tunggu...
PUTRIYANA ASMARANI
PUTRIYANA ASMARANI Mohon Tunggu... Editor - Bookstagrammer

Lahir di Mojokerto. Esai, resensi, puisi, dan cerpennya terbit di media lokal dan internasional; Jawa Pos, The Suryakanta, TelusuRI, The Jakarta Post, Cassandra Voices, Indian Periodical, dst.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kapada Sayangku, yang Lolos dari Pawai Kematian

28 Juli 2024   11:20 Diperbarui: 28 Juli 2024   11:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photographed by Pexel on Pixabay

            Meskipun begitu, kau mengais welas pada Komandan Asahi, "Tuan, kumohon selamatkan aku." Kau diusungnya ke sebuah bilik, dipatahkannya tanganmu, direntangkan untuk dihidangkan pada serdadunya yang penuh nafsu. Kau tak bisa berjalan setelah itu. Kau tak mungkin bisa menggunakan dua kakimu untuk lari, dan kau tak mungkin punya pilihan lain selain mengharapkan mati, "Duh Bapa, mana bisa hamba menanggung derita yang lebih hebat dari semua ini? Hamba ingin pulang, kasihanilah hamba, hamba ingin pulang."

           Bapa di surga, malam itu tak mengutus malaikat untuk mengantarmu pulang, ia mengutus gerilyawan. "Anak manis, rupamu sudah ringsek begini, siapa namamu?" Ia bertanya, peluhnya terus mengucur bersama deras air mata. Sayangku, kau sudah lupa siapa namamu, dan saat itu mulutmu hanya bisa berkata, "Tuan selamatkan aku."

           Gerilyawan yang memandumu ke rumah sakit, betul, lelaki baik itu, adalah mayat yang tumbang di antara sekian ribu di siang bolong Pawai Kematian. Pada akhirnya, siapa yang bisa kau mintai tolong selain saudara sebangsamu sendiri? Pada akhirnya, siapa yang bisa kau ajak bicara kecuali dirimu sendiri? Pada akhirnya, dengan siapa kau berjalan menuju pintu kematian kalau bukan dengan dirimu yang malang ini?

            Ampun sayangku, ampun, meskipun aku ini tak terampuni. Semestinya, aku tak minta pertolongan pada Komandan Asahi. Semestinya, aku tak menanti Amerika Serikat. Semestinya, aku mencari saudara sebangsaku sendiri. Sayangku, Odesa Carmelita, sampai mati, kau mesti bersumpah takkan memaafkan semua ini. Aku mana bisa mengatakan, nestapa ini bukan kau seorang yang mengalami. Anak perempuan lainnya, juga bahkan perempuan jompo juga bernasib sepertimu. Sungguh celaka bila aku menggunakan alasan ini untuk meredam prahara yang menimpamu. Betapa keji bila aku menganggap, wanita di zaman ini memang sudah takdirnya menderita seperti itu.

          Mana bisa aku menerimanya, meskipun di rumah sakit banyak bidan yang menghibur dengan dalih gila semacam, "Ini sudah takdir, ini sudah zamannya." Ternyata banyak juga, umat alim nan waras, juga berpendidikan, yang mengatakan Bapa di surga bersekongkol dengan Jepang, mencantumkan Jepang di atas buku takdir agar bisa menumpas umat manusia sedemikian rupa. Sayangku, kau sudah babak belur begini, dan nuranimu kian dirusak oleh mereka yang lebih sehat wal afiat, cerdas, dan bermartabat.

           Sayangku Odesa Carmelita, bumi kita berdua bergemuruh pasrah. Kau hanya menerima satu kebaikan di alam ini, disodorkan secara percuma oleh gerilyawan sebangsamu, itupun ia mati di Pawai Kematian. Jangankan yang pengecut, yang paling berani di antara kita, tumpas sudah.

             Jiwaku, kehidupanku, aku, telah luluh lantak, tak terampuni, dan dirawat karena dikasihani. Tapi, Odesa Carmelita sayangku, jangan pernah sekali-kali kau mengira aku tak menyayangimu. Jangan sekali-kali kau menerka bahwa tidak ada satu hal pun darimu yang aku sayangi. Kau harus ingat, bahkan saat kau menapaki ruas jalan menuju penghabisan, cintaku padamu tak kurang barang satu embusan napas. Pada akhirnya, sayangku, siapa yang mencintaimu sedemikian tulusnya kalau bukan dirimu sendiri? Pada

***

Berhenti.

Peluru melubangi jendela kaca, mendarat di pelipis kiri Odesa Carmelita. Tiada salam perpisahan terucap di suratnya, surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun