Mohon tunggu...
PUTRIYANA ASMARANI
PUTRIYANA ASMARANI Mohon Tunggu... Editor - Bookstagrammer

Lahir di Mojokerto. Esai, resensi, puisi, dan cerpennya terbit di media lokal dan internasional; Jawa Pos, The Suryakanta, TelusuRI, The Jakarta Post, Cassandra Voices, Indian Periodical, dst.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kapada Sayangku, yang Lolos dari Pawai Kematian

28 Juli 2024   11:20 Diperbarui: 28 Juli 2024   11:29 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photographed by Pexel on Pixabay

Manila, 1944.

            Di kehidupanku ini, siapa yang bakal peduli kapan dan pukul berapa aku mati? Tak terpikirkan pula olehku, aku yang tak memiliki apapun kecuali nama dan jiwa tersakiti, bakal mati dengan cara seperti ini. Aku tak percaya bakal menemui Tuhan hanya untuk bersaksi bahwa aku mengaku kalah atas hidup yang selama ini kuperjuangkan dan kujalani.

            Aku dibiarkan mangkrak begitu saja di atas ranjang dorong, di ruang terapi memegang alat tulis. Bibir benyot, liur menetes-netes seperti anjing, dan kepala penceng ke kiri. Para suster, perawat, bidan, dokter, bahkan tukang sikat kakus sekalipun sudah ambyar, lari kocar-kacir mendengar raung sirene, memekikkan bentrok antara tentara Jepang dan Amerika Serikat yang dua tahun lalu mengaku kalah tapi balik kucing. Peluru melubangi dinding bata-semen, memecahkan kaca, mengoyak tirai. Tubuhku terpancang di atas ranjang. Jangankan mengesot, bangkit menegakkan punggung aku tak mampu.

            Siapa yang terakhir kau ajak bicara di menit-menit terakhir sebelum kau mati kalau bukan dirimu sendiri? Jemari ambruk, pensil tegak sebentar lalu mengeloyor, kertas putih basah dihujani liur, kepala semakin miring, sandaran sudah longsor. Aku tak berdaya sama sekali. Pada sebuah pensil dan secarik kertas sengak, hidupku sekarang ini bertumpu;

            Odesa Carmelita, sayang, ampunilah aku. Mana bisa aku melupakan mawar putih dan Pawai Kematian? Aku ingin lupa, aku ingin menghapus bersih segala, lalu membawa kehidupan ini pada babak baru. Ampunilah aku. Kasihanilah aku, sayangku Odesa Carmelita. Dua belas pohon randu yang menggagahimu sebenarnya adalah serdadu, salah satunya...justru Komandan Asahi yang mengaku kekasihmu. Sedangkan aku membungkam mulutmu, merantai kakimu, melumpuhkan daya pikirmu, dengan mengatakan bahwa bayang-bayang hitam bercapil itu hanyalah pokok-pokok randu yang belum ditebang. Semua, agar kau tak menanggung malu.

            Sayangku Odesa Carmelita tak pernah tanggal memasang mawar putih di saku kemejanya setiap hari Senin pertama di bulan Desember, karena ia yatim piatu, karena lembab tengik bilik pelacuran tak lain adalah rahim yang meloloskanmu di ujung bumi yang lara ini. Sayangku, mana mampu kau mengampuniku? Di bulan yang sama, belum sempurna kau jadi wanita, tubuh kerempengmu diarak menuju Bulacan perkara Jepang tiba di Luzon melucuti segala kepemilikan tentara Amerika Serikat, juga jiwa dan ragamu yang masih kanak itu.

            Masih di bulan yang sama, ketika dongengmu berlumuran jaya Amerika Serikat, kau mendengar Amerika Serikat mundur dari Usaffe, menumbalkan Manila menjadi Kota Terbuka. Belum pula genap satu minggu, tahun baru, 1942, bukankah bulan ini adalah hari esok yang didamba masa lalu 1941? Lantas mengapa, kau, sayangku Odesa Carmelita menjadi babu di kamp serdadu? Menyisiri rimba-rimba, mengotes tumbuhan obat, meramunya untuk menyembuhkan satu peleton manusia yang pikirannya cuma ingin menggilirmu satu per satu, menghajarmu bertubi-tubi hingga kau hampir lupa siapa nian dirimu?

            Aku bersaksi padamu, sayangku Odesa Carmelita, kau jangan pernah mengampuniku, sekalipun aku memintanya dengan pilu. Ke mana Amerika Serikat, para tuan, saat kau dan perempuan sebangsamu dilepas begitu saja di kandang Jepang? Para komandan, brigadir, jenderal, mungkin juga tentara bayaran yang lama bersarang di nadi, pusar, dan jantung Filipina, mengapa mereka menyerahkan Butaan begitu saja lalu kabur ke Australia? Kemudian dengan entengnya pengecut itu bersumpah untuk kembali, demi meredam kekalutan sentero anak bangsa?

            Sayangku Odesa Carmelita, aku gagal memberimu perlindungan, maka tak apa bila tak ada ampun bagiku. Seluruh hidupmu, darimana kau petik cinta kasih saat seluruh tanahmu terjamah nestapa? Komandan Asahi memberimu satu pisang dan segelas teh manis, lalu berbuat sesukanya, kalau sudah bosan kau dilempar, digilir tentara bawahannya. Masih, kau anggap ini kebaikan darinya. Tentu saja, sayangku Odesa Carmelita, tak ada kebaikan pun bahkan sebesar biji sawi yang tersedia untukmu, sampai kekejaman pun kau anggap ada baiknya.

            Jepang datang untuk menolong siapa? Amerika Serikat menetap untuk melindungi siapa? Mengapa kau babak belur, sayangku, ketika dua bangsa digdaya saling berebut untuk menjanjikan perlindungan padamu? Mengapa keduanya tak sanggup menolong satu saja gadis cilik yatim piatu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun