Mohon tunggu...
PUTRIYANA ASMARANI
PUTRIYANA ASMARANI Mohon Tunggu... Editor - Bookstagrammer

Lahir di Mojokerto. Esai, resensi, puisi, dan cerpennya terbit di media lokal dan internasional; Jawa Pos, The Suryakanta, TelusuRI, The Jakarta Post, Cassandra Voices, Indian Periodical, dst.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaimana Jepang Melindungi Sinyo

22 Juni 2024   20:00 Diperbarui: 22 Juni 2024   20:26 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            “Tapi apa maksudnya kita disuruh membawa barang-barang berharga dan meninggalkan yang tidak perlu, kita mau dibawa ke mana?” Wajah tante Alice memerah, lebih merah dari pewarna yang dituang ke atas adonan kelanting.

            “Ampun Nyonya,” Tegar tak juga paham dengan situasi, bukankah perlindungan berarti sesuatu yang bagus?

            “Ada sesuatu yang tidak beres, kamu lihat sendiri di sini,” Tante Alice menyodorkan surat pada Tegar yang gemetar dan berpeluh keringat dingin, “bahwa perlindungan ini menghendaki bebasnya buruh, jongos, babu, juga koki, dan seorang Nyonya hanya boleh membawa satu babu perempuan saja!” Surat dicampakkan ke atas ubin dan Tegar sigap memungutnya.

            Dalam hati Tegar bersuara, “Apakah ini yang disebut merdeka?”

            “Kau sendiri,” Tante Alice menuding Tegar, “apa yang bakal kau lakukan setelah ini, bisakah kau membuat dirimu berguna? Kau bakal menganggur dan anak-binimu bakal terlantar kalau kau tak ikut bersamaku. Kau tahu berapa jumlah prajurit Alexander Agung heh Tegar? Kalau jutaan pengabdi saja tidak cukup baginya dan ia harus impor prajurit dari negara jajahannya, bagaimana bisa aku hidup dengan satu babu?”

            “Tante, bukankah sudah berbulan-bulan kita menanti kabar ini?” Jeroen bangkit dari kursinya, tubuhnya tak lebih tinggi dari sandaran kursi dan meja lebih tinggi dari dagunya. Tante Alice ambruk di atas ubin yang menguap di bulan Maret, pandangannya terpancang pada Jeroen, bukankah ia terlalu belia untuk meresapi kecamuk ini?

            Tegar belum sempat menyerahkan lengannya untuk memapah sang nyonya karena sebentar kemudian pintu terbedol dari engselnya, satu regu pasukan campuran prajurit Jepang, beberapa PETA, dan mungkin juga segelintir Heiho, menerobos dan mengepung. Jeroen segera lari terbirit-birit menyembunyikan muka di ketiak Tante Alice. Tegar menghadap dengan dua lutut menyentuh tanah, menghamba.

            “Sore, Nyonya Alice,” seseorang berada paling depan, menenteng senapan menyambut dengan salam. Sungguh sopan kelakuannya, tapi kenapa ia bawa senjata segala.

            “Kami semua sanak Jan Boudewijn, dan bocah ini adalah anak laki-lakinya,” Tante Alice menyahut dengan tergesa, ia memastikan bahwa saudara Asia satu ini harus sadar siapa yang membuka jalan bagi mereka.

            “Oh tak perlu khawatir Nyonya, kami cuma mau menyusul Nyonya bersama Sinyo, kami membuat tempat perlidungan khusus untuk Nyonya di Little Laan Wych―”

            “Tapi aku sudah aman di sini, biarkan kami sendiri,” Tante Alice memotong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun