Mohon tunggu...
Putri Tifanny Azizah
Putri Tifanny Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Senang ngomongin film, musik, dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Pembelajaran Sastra di Bangku Pendidikan Indonesia

25 Juni 2024   06:00 Diperbarui: 25 Juni 2024   06:28 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Impian Sapardi tentang keinginannya untuk kembali memasukan Pendidikan sastra kedalam kurikulum Pendidikan Indonesia akhirnya terwujud. Adanya pembelajaran ilmu sastra di dalam ranah Pendidikan Indonesia sebenarnya bukanlah suatu gagasan baru. Akan tetapi, sastra sempat disingkirkan dari perhatian para Menteri Pendidikan beberapa tahun kebelakang. Adanya ide untuk mengembalikan pendidikan sastra kedalam kurikulum Pendidikan Indonesia sempat di gaungkan oleh salah satu sastrawan Indonesia, yakni Sapardi Djoko Damono. Beliau, yang juga berlatar belakang sebagai dosen sastra, melihat bahwa Pendidikan sastra sebetulnya sangat penting untuk dikaji sejak di bangku sekolah.

Sapardi berpendapat bahwa sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati dan terus menerus dikembangkan dalam suatu masyarakat. Artinya, sastra adalah bentuk seni yang sebetulnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari karena sastra adalah seni Bahasa yang notabene kita, manusia sebagai mahluk sosial, menggunakan Bahasa untuk berkomunikasi dan mengutarakan isi hati. Dengan bersastra, kita dapat melihat dan mepelajari berbagai sudut pandang dan pemikiran manusia yang beragam. Yang mana, hal tersebut akan berpengaruh pada kemampuan kita bersosialisasi di kehidupan nyata.

Lantas, seberapa penting mempelajari sastra sedari dini? 

Sastra merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner. Di dalam sebuah karya sastra terdapat berbagai ilmu tersirat yang menjadi latar belakang penulisan karya sastra tersebut. Sebut saja novel-novel karya sastrawan dunia seperti George Orwell atau Charles Dickens, yang kerap menulis karya sastranya dengan sarat nilai kritik sosial, sehingga beririsan dengan ilmu sosiologi karena membahas konflik-konflik sosial yang terjadi di kehidupan nyata.

Menurut Paul Socken, karya sastra mampu memberikan pengalaman yang tidak pernah terpikirkan oleh pembaca lewat tokoh-tokoh yang ada di dalam karya sastra tersebut. Ini berarti, sebuah karya sastra mampu memberikan pengalaman baru tanpa pembaca harus mengalaminya secara langsung. Hal tersebut akan menimbulkan suatu pengetahuan baru bagi para pembaca mengenai suatu peristiwa atau sejarah.

Misal, berkaca pada karya-karya sastra penulis Indonesia seperti Leila S. Chudori yang kerap menulis tentang peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia, seperti pada novelnya yang berjudul 'Laut Bercerita' yang menceritakan bagaimana mencekamnya hidup di masa Orde Baru. Atau pada novelnya yang berjudul 'Pulang' yang juga menceritakan sejarah kelam Indonesia di tahun '65 dari sudut pandang keluarga tahanan politik (tapol), Leila memberikan perspektif yang mendalam tentang penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh mereka yang menjadi korban dari peristiwa tersebut. Karya-karya seperti ini akan membuka wawasan para siswa tentang bab-bab sejarah yang seringkali luput dari kurikulum formal. Sehingga, membaca dan mempelajari karya sastra dapat membuka pikiran dan pengetahuan para siswa kedepannya.

Selain itu, dengan masuknya sastra kedalam kurikulum Pendidikan juga dapat dijadikan solusi untuk mengurangi maraknya penggunaan gadget yang berlebih pada anak-anak sekolah dasar. Sastra memiliki peran penting dalam pembentukan karakter dan kemampuan berpikir kritis anak. Dengan membaca karya sastra, anak-anak dapat mengembangkan imajinasi mereka, meningkatkan keterampilan bahasa, dan memahami nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita-cerita tersebut. Menurut sebuah studi yang diterbitkan oleh National Endowment for the Arts, anak-anak yang terlibat dalam kegiatan membaca cenderung memiliki prestasi akademis yang lebih baik dan kemampuan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak membaca secara rutin.

Pendidikan sastra yang diajarkan di sekolah dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih menarik dan interaktif. Misalnya, melalui diskusi kelompok dan analisis teks, anak-anak dapat belajar untuk mengemukakan pendapat mereka, mendengarkan pandangan orang lain, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Hal ini sangat berbeda dengan aktivitas menggunakan gadget yang sering kali bersifat pasif dan individual.

Namun, pada praktiknya tetap harus kita perhatikan secara mendalam. Karya sastra banyak sekali mengandung pesan moral yang dibalut dengan nilai-nilai estetika khas sastra. Sehingga membaca karya sastra dibutuhkan pemikiran yang terbuka agar dapat memahami nilai yang terkandung di dalam suatu karya sastra. Tenaga pengajar yang kompeten di bidangnya sangat diperlukan untuk mensukseskan program ini. Dengan kata lain, dibutuhkan persiapan dan rencana yang matang sebelum Pendidikan sastra benar-benar dipraktikan didalam kurikulum Pendidikan Indonesia.

Jangan sampai pada praktiknya program ini tidak maksimal sehingga bukannya menambah minat para siswa untuk mengeksplorasi dunia sastra, melainkan menurunkan minat siswa terhadap karya sastra karena tenaga pengajar yang kurang kompeten dalam mengenalkan sastra kepada para siswa. Pentingnya pendidikan sastra dalam kurikulum tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa, tetapi juga untuk memperkaya wawasan budaya dan moral mereka.

Namun, tanpa persiapan yang matang dan pengajar yang kompeten, tujuan utama dari program pendidikan sastra ini bisa jadi tidak tercapai. Menurut Dr. Siti Nurjanah, pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, salah satu tantangan utama dalam implementasi pendidikan sastra adalah kurangnya tenaga pengajar yang memiliki keahlian khusus dalam bidang sastra. Seringkali, guru-guru yang mengajar sastra tidak memiliki latar belakang yang kuat dalam sastra itu sendiri, sehingga mereka kesulitan dalam menyampaikan materi dengan cara yang menarik dan mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun