Mohon tunggu...
PUTRI SUNJAYA
PUTRI SUNJAYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai mahasiswa jurusan hukum, saya adalah individu yang penuh dedikasi untuk memahami dan menganalisis berbagai aspek sistem hukum. Dengan kepekaan terhadap keadilan, saya terus mengembangkan keterampilan penelitian, pemahaman teori hukum, dan kemampuan komunikasi yang kuat. Komitmen saya terhadap etika dan kejujuran menjadi landasan dalam menjalani perjalanan akademik ini, dengan harapan dapat memberikan kontribusi positif dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Putusan Mahkamah Konsitusi

14 Desember 2023   02:03 Diperbarui: 14 Desember 2023   02:31 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KASUS MANTAN ANGGOTA PARTAI KOMUNIS INDONESIA 

Pada tanggal 30 September 1965, terjadi kudeta dandapos;etat di Indonesia, yang diduga diorganisir oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan tersebut berhasil dikalahkan oleh tentara pimpinan Mayjen Soeharto yang langsung tampil sebagai orang kuat. Pada tanggal 11 Maret 1966, kurang dari setengah tahun setelah pecahnya pemberontakan, Presiden Sukarno, yang dipanggil melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Soeharto, mendapat mandat untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan guna menjamin keamanan rakyat dan negara.

Supersemar bukan sekedar jaksa tapi peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Soeharto, yang muncul sebagai orang kuat setelah pemberontakan ditumpas, mempunyai dasar hukum untuk terus bertindak.  Hal pertama yang dilakukan Soeharto setelah mengakuisisi Supersemar adalah membubarkan PKI  dan organisasi terkaitnya serta menyatakannya sebagai partai atau organisasi terlarang di seluruh Indonesia. Setelah itu, tokoh-tokoh utama PKI diadili satu per satu  di Pengadilan Militer Luar Biasa (Mahmilubi). Seperti persidangan di Nuremberg yang menghukum para pemimpin Nazi, persidangan ini dilakukan dengan cepat dan tanpa  mekanisme banding. Beberapa pemimpin  kelas menengah PKI diasingkan tanpa  pengadilan.  

 Adapun mantan anggota PKI, baik  pasif maupun aktif, mendapat hukuman politik bertahun-tahun. Salah satunya  dilarang memilih atau dipilih dalam pemilu. Larangan ini  secara resmi tertuang dalam setiap undang-undang pemilu.  Sehubungan dengan jatuhnya rezim otoriter Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, bersamaan dengan lahirnya reformasi agama, maka larangan tersebut mulai dilonggarkan. Mantan anggota PKI dapat memilih pada pemilu tahun 1999 untuk pertama kalinya sejak pemilu tahun 1971. Namun hak untuk dipilih (right to stand) menjadi anggota DPR tidak diberikan dan tetap berlaku pada pemilu tahun 1999. Anggota DPR, DPRD, dan Anggota Provinsi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003. Anggota  (UU Balet 2003). 

Terdapat ketidakpastian di kalangan anggota DPR mengenai pencabutan larangan ini karena masih terdapat suara-suara baik di masyarakat maupun di parlemen yang mendukung dan menentang pemilihan mantan anggota PKI.  Beberapa tokoh masyarakat dan mantan anggota PKI kemudian membawa permasalahan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mendalilkan salah satu ketentuan dalam UU tersebut yakni Pasal 60 huruf g. yang masih mencakup pelarangan mantan anggota PKI mencalonkan diri dalam pemilu parlemen, yang bertentangan dengan UUD 1945 karena bersifat diskriminatif dan menghilangkan hak konstitusional mereka. Perkara tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Oktober 2003 dan putusan diambil pada tanggal 24 Februari 2004. Delapan hakim menerima permohonan dan satu hakim tidak setuju. Satu-satunya hakim yang berbeda pendapat adalah hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Roestandi, pensiunan letnan jenderal yang pernah menjadi anggota Fraksi DPR  TNI/Polri. 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003   

Dalam putusannya yang dibacakan pada  24 Februari 2004, MK menilai pelarangan mantan anggota PKI  menjadi anggota parlemen bertentangan dengan UUD 1945. MK membatalkan Pasal 60 g UU Pemilu 2003 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan tersebut didasarkan pada fakta bahwa UUD 1945 tidak memperbolehkan diskriminasi atas dasar keyakinan politik. Selain itu, kondisi ini bertentangan dengan hak asasi warga negara.   Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut didasarkan pada ketentuan 27 ayat 1, 28 D ayat 1 dan 3 serta 281 ayat 2 UUD 1945, yaitu sebagai berikut: 

  1. Pasal 27(1): andapos Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintah serta wajib menaati hukum dan pemerintah dengan tidak ada kecualinya.andapos;. (Semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum dan pemerintah dan wajib menghormati hukum dan pemerintah tanpa kecuali). 

 2. Pasal 28D ayat 1: andapos;Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama sebelum diadili;.  (Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan rasa aman di hadapan hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum). 

 3. Pasal 28D(3): Andapos: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.  (Setiap warga negara mempunyai hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan). 4. Pasal 281(2): andapos;Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak dilindungi terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif,andapos;.  (Setiap orang berhak untuk bebas dari diskriminasi atas dasar apapun dan berhak untuk dilindungi dari diskriminasi tersebut).

Ketentuan UUD tersebut juga tertuang dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999  (UU HAM). Pasal 1(3) UU ini tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama,  ras, asal usul etnis, kelompok,  status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa atau pendapat politik. Bagi MK, larangan mantan anggota PKI mencalonkan diri sebagai anggota parlemen merupakan larangan yang didasari oleh perbedaan keyakinan politik.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun