Mohon tunggu...
Putrisnaini Rahmatin
Putrisnaini Rahmatin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Pendidikan Masyarakat UNJ 2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Diskriminasi dalam Lembaga Permasyarakatan: Pelanggaran HAM

24 Mei 2023   14:22 Diperbarui: 24 Mei 2023   14:39 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa di Indonesia terdapat banyak kasus diskriminasi dalam lembaga permasyarakatan (lapas). Perbedaan yang sangat signifikan dapat terlihat mulai dari perlakuan petugas permasyarakatan sampai kepada fasilitas yang didapatkan oleh para tahanan / narapidana. 

Salah satu contoh diskriminasi dalam lapas yang terjadi di Indonesia adalah kasus yang terjadi di Lapas Sukamiskin, disana kondisi fasilitas 'mewah' bisa didapatkan dan diakses oleh penghuni yang mampu secara ekonomi (kaya), umumnya mereka adalah narapidana kasus korupsi.

Seperti pada tahun 2018, Ombudsman RI melakukan sidak kepada tiga lapas di Kota Bandung, dan ditemukan data kamar yang dihuni oleh Setya Novanto berukuran lebih besar dari hunian lainnya di Lapas Sukamiskin, Bandung. Bahkan dikatakan bahwa luas kamarnya dua kali lipat dari kamar warga binaan lainnya. Seperti yang kita ketahui, Setya Novanto menjadi narapidana karena kasus korupsi KTP elektronik (E-KTP). Hal ini jelas adalah kasus diskriminasi dalam kamar hunian. Karena ada perbedaan antara satu hunian dengan yang lainnya, mulai dari luasnya maupun fasilitas yang digunakan.

Kasus diskriminasi ini terjadi karena disebabkan oleh fenomena kelebihan beban tahanan hampir 100 persen yang dialami oleh hampir keseluruhan lapas dan rutan di Indonesia. Sehingga untuk mendapatkan fasilitas yang layak tidak bisa dirasakan oleh seluruh narapidana di Indonesia.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Permasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada September 2022 tercatat kelebihan penghuni sebanyak 144.065 jiwa (109%) dari total kapasitas yang disediakan sebanyak 132.107 jiwa. Dengan rincian status 227.431 jiwa merupakan narapidana, dan 48.741 jiwa merupakan tahanan (tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam rumah tahanan dan belum dalam masa menjalani pidana di lembaga permasyarakatan).

Sedangkan menurut jenis kejahatannya, terdapat 139.839 jiwa penghuni lapas dan rutan adalah pelaku tindak pidana kasus narkoba. Dengan rincian 125.288 jiwa adalah pemakai narkoba, dan 14.551 jiwa merupakan pengedar, bandar, penadah, serta produsen narkoba. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa jumlah pelaku tindak pidana narkoba mendominasi lapas dan rutan hingga mencapai 50% dari total penghuni lapas dan rutan.

Hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi fenomena kelebihan beban tahanan atau over crowding yang kemudian juga dapat menanggulangi masalah diskriminasi dalam lapas adalah 'Restorative Justice'. Konsep restorative justice adalah penyelesaian sebuah perkara tanpa melalui proses persidangan, dan lebih mengedepankan dialog musyawarah serta pengambilan solusi dengan perdamaian. Namun, restorative justice tidak bisa dilakukan secara sembarangan, melainkan dengan ketentuan dan syarat, antara lain tersangka baru satu kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman lima tahun kebawah, perdamaian antara kedua belah pihak (korban dan pelaku) tanpa syarat, dan kerugiannya tidak terlalu besar.

Konsep restorative justice sangat dibutuhkan untuk kasus pidana pengguna atau pemakai narkoba secara pribadi, karena mereka seharusnya dapat diberikan hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman (pemidanaan), kemudian pemidanaan pada kasus ini juga dapat diubah menjadi sanksi administratif di luar pidana, seperti kerja sosial, denda, ataupun hal lainnya yang dapat memberikan efek jera kepada mereka.

Selain itu, restorative justice sangat dibutuhkan untuk kasus ini karena dapat mengurangi kapasitas beban lembaga permasyarakatan secara drastis, mengingat pelaku tindak pidana narkoba mendominasi lapas hampir 50% dengan mayoritasnya adalah pemakai narkoba. 

Jika lembaga permasyarakatan sudah tidak lagi kelebihan beban kapasitas atau over crowding, lembaga permasyarakatan diharapkan dapat memberikan fasilitas yang layak dan merata kepada seluruh narapidana sehingga tidak lagi terjadi diskriminasi dalam lapas. Dengan ini diharapkan kasus atau fenomena diskriminasi dalam lapas di Indonesia dapat ditanggulangi dengan tegas oleh pemerintah dari akar permasalahannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun