Mohon tunggu...
Putri Shafa Faraditsa
Putri Shafa Faraditsa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa aktif Universitas Bakrie 2023 yang senang Travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Aman FSGI Minta Pemerintah Baru Lanjutkan Inisiatif Pencegahan Kekerasan di Sekolah

31 Oktober 2024   15:18 Diperbarui: 31 Oktober 2024   15:43 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahun 2024 diprediksi akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi sistem pendidikan di Indonesia, terutama terkait dengan keamanan dan kesejahteraan siswa. Dalam laporan terbaru, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kasus kekerasan di sekolah. Dengan 36 kasus kekerasan yang tercatat antara Januari dan September 2024, termasuk tujuh kematian, situasi ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan data sebelumnya, yang mencatat hanya 15 kasus hingga Juli 2024. Data ini mencerminkan bahwa kekerasan di sekolah bukan hanya masalah individu, tetapi telah menjadi fenomena yang meresahkan di kalangan masyarakat.

Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, menyampaikan bahwa dari total 36 kasus yang dilaporkan, sebanyak 12 kasus terjadi hanya pada bulan September 2024. Jenis kekerasan yang dilaporkan mencakup enam kasus kekerasan seksual, lima kasus kekerasan fisik, dan satu kasus kekerasan psikis. Kasus-kasus ini melibatkan berbagai jenjang pendidikan, namun kebanyakan terjadi di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).

Dari 36 kasus tersebut, FSGI mencatat bahwa 66,66 persen terjadi di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sementara 33,33 persen terjadi di bawah Kementerian Agama. Meskipun Kementerian Agama memiliki proporsi yang lebih kecil dalam jumlah kasus, dampak dari kekerasan fisik di lembaga mereka cukup serius, dengan empat siswa dilaporkan meninggal dunia akibat kekerasan. Angka ini menunjukkan bahwa setiap lembaga pendidikan, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, perlu lebih waspada dan bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan siswa.

FSGI juga mengidentifikasi empat jenis kekerasan yang paling umum terjadi di sekolah. Pertama, kekerasan fisik mencakup 55,5% dari total kasus, menunjukkan bahwa siswa sering menjadi korban tindakan fisik. Bentuk kekerasan fisik ini dapat beragam, mulai dari pemukulan hingga penyiksaan yang dilakukan oleh teman sebaya maupun pihak yang memiliki otoritas di sekolah. Kekerasan fisik ini sering kali menyebabkan luka fisik dan dampak psikologis yang lebih dalam bagi para korban.

Kedua, kekerasan seksual, yang mencakup 36% dari kasus, menjadi perhatian serius karena dampaknya yang merusak secara fisik dan mental. Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak hanya menyebabkan trauma jangka panjang, tetapi juga dapat memengaruhi kehadiran dan prestasi akademik siswa. Ini adalah isu yang sangat mendesak, mengingat pentingnya menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa.

Ketiga, kekerasan psikis, yang mencakup 5,5%, tidak boleh diabaikan karena dapat berdampak pada kesehatan mental siswa dalam jangka panjang. Bentuk kekerasan psikis bisa berupa ejekan, intimidasi, atau perlakuan diskriminatif yang dapat mengganggu rasa percaya diri siswa. Terakhir, kebijakan yang mengandung kekerasan juga menjadi bagian dari masalah ini. Kebijakan yang tidak mendukung keselamatan dan kesejahteraan siswa, seperti hukuman fisik yang masih diterapkan di beberapa sekolah, juga perlu menjadi perhatian.

Dalam konteks pelaku kekerasan di satuan pendidikan, data menunjukkan bahwa sebagian besar adalah peserta didik itu sendiri. Sekitar 39% pelaku merupakan teman sebaya, sementara 8% adalah kakak senior. Kombinasi dari kedua kelompok ini menjadikan hampir 47% dari total pelaku kekerasan di sekolah. Ini menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga menciptakan suasana ketidakamanan bagi siswa lainnya.

Selain itu, pelaku juga termasuk kepala sekolah, guru, dan pembina kegiatan ekstrakurikuler. Dari total 36 kasus, jumlah korban mencapai 144 peserta didik, yang menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat langsung, tetapi juga menciptakan suasana ketidakamanan bagi siswa lainnya.

Kekerasan di satuan pendidikan tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga memiliki dampak psikologis yang mendalam. Siswa yang mengalami kekerasan lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya kepercayaan diri. Lingkungan yang tidak aman dapat mengganggu proses pembelajaran, memengaruhi prestasi akademis siswa, dan menciptakan budaya ketakutan di sekolah. Ketidaknyamanan yang dialami siswa dapat mengakibatkan absensi tinggi, yang berpotensi menghambat perkembangan akademis mereka.

Data menunjukkan bahwa kasus kekerasan ini terjadi di 31 kabupaten/kota di 14 provinsi, yang menandakan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan perlu penanganan yang serius dari pemerintah. Kejadian kekerasan yang luas ini menunjukkan bahwa tidak ada daerah yang benar-benar aman dari masalah ini, dan setiap sekolah dapat menjadi lokasi terjadinya kekerasan. Oleh karena itu, FSGI menegaskan bahwa tindakan segera dan efektif sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman.

Kekerasan dalam pendidikan di Indonesia merupakan isu kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu penyebab utamanya adalah budaya kekerasan yang telah mengakar dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, perilaku agresif dianggap sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik atau menunjukkan kekuasaan. Budaya ini sering kali tercermin dalam interaksi sehari-hari, baik di lingkungan rumah tangga maupun di sekolah. Ketika siswa tumbuh dalam lingkungan di mana kekerasan dianggap sebagai resolusi yang wajar, mereka cenderung meniru perilaku tersebut.

Faktor kedua adalah kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang isu kekerasan. Banyak guru dan staf pendidikan mungkin tidak memiliki pelatihan yang memadai dalam menangani situasi kekerasan atau memahami dampaknya terhadap siswa. Tanpa pengetahuan yang cukup, mereka tidak dapat memberikan bimbingan yang tepat atau menciptakan lingkungan yang aman. Hal ini dapat menyebabkan situasi di mana kekerasan dibiarkan berlangsung tanpa penanganan yang efektif.

Pendidikan karakter yang kurang dalam kurikulum juga menjadi penyebab signifikan. Banyak sekolah fokus pada aspek akademis tanpa memberikan perhatian yang cukup pada pengembangan nilai-nilai sosial dan emosional. Ketidakmampuan untuk mengajarkan empati, toleransi, dan keterampilan komunikasi yang baik akan mengakibatkan siswa tidak memiliki alat yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang positif. Hal ini berpotensi meningkatkan ketegangan antar siswa dan menciptakan suasana yang memungkinkan kekerasan terjadi.

Selain itu, tekanan akademis yang tinggi juga dapat menjadi pemicu kekerasan di sekolah. Di tengah persaingan yang ketat untuk mencapai prestasi akademik, siswa sering kali merasa tertekan dan frustrasi. Tekanan ini tidak hanya berasal dari lingkungan sekolah, tetapi juga dari orang tua yang mengharapkan hasil yang baik. Dalam keadaan tertekan, beberapa siswa mungkin merasa terdorong untuk menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka atau merespons provokasi dari teman sebaya.

Terakhir, ketidakadekan sistem pelaporan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah merupakan faktor yang memperburuk situasi. Banyak siswa yang menjadi korban kekerasan merasa takut untuk melapor karena khawatir akan stigma atau pembalasan. Sistem yang ada sering kali tidak transparan, membuat siswa merasa tidak aman untuk berbicara. Ketidakmampuan untuk menangani kasus kekerasan dengan baik akan menciptakan siklus di mana kekerasan terus terjadi tanpa ada penyelesaian yang memadai. Upaya untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman memerlukan komitmen dari semua pihak untuk mengatasi penyebab-penyebab ini secara holistik.

FSGI mendorong pemerintah baru untuk meningkatkan program pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Heru Purnomo menekankan pentingnya langkah-langkah proaktif dalam menangani isu ini. Beberapa rekomendasi yang diajukan meliputi peningkatan kesadaran di kalangan siswa, guru, dan orang tua tentang pentingnya menciptakan lingkungan sekolah yang aman. Melalui seminar, lokakarya, dan program edukasi, semua elemen sekolah harus terlibat dalam menciptakan atmosfer yang mendukung.

Selain itu, pelatihan untuk guru dan staf mengenai cara mengidentifikasi dan menangani kekerasan di lingkungan pendidikan sangat penting. Pelatihan ini harus mencakup teknik-teknik komunikasi yang efektif serta cara mendekati dan mendukung siswa yang menjadi korban kekerasan. Penerapan kebijakan yang ketat terhadap pelaku kekerasan juga diperlukan, termasuk sanksi yang jelas dan rehabilitasi bagi pelaku. Kebijakan ini harus diperkuat dengan adanya prosedur yang transparan untuk melaporkan dan menangani kasus kekerasan di sekolah.

Penyediaan layanan konseling bagi korban kekerasan juga sangat penting untuk membantu mereka pulih secara emosional dan mental. Layanan ini harus dapat diakses dengan mudah dan harus melibatkan tenaga profesional yang terlatih. Monitoring dan evaluasi program pencegahan kekerasan di sekolah juga harus dilakukan secara berkala untuk memastikan efektivitasnya. Dengan adanya evaluasi, program tersebut dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan sekolah.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa. Orang tua harus aktif terlibat dalam pendidikan anak dan mendukung mereka dalam menghadapi masalah di sekolah. Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dapat membantu anak merasa lebih nyaman untuk berbagi masalah yang mereka hadapi. Selain itu, masyarakat perlu membangun komunitas yang peduli terhadap isu-isu kekerasan di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui forum-forum diskusi, kegiatan sosial, dan program-program yang melibatkan siswa, orang tua, dan pendidik.

Menurut Nuriah sebagai seorang ibu "kekerasan di sekolah sudah melanggar undang-undang perlindungan anak. Harapannya adalah untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif, aman, dan nyaman bagi murid, guru, dan staf sekolah. Kekerasan di sekolah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan serta melanggar hak murid untuk belajar di lingkungan yang aman". Menurut Oktaviani sebagai seorang mahasiswa "Saya sangat serius menanggapi isu ini, karena saya tidak mau ada korban kekerasan dalam pendidikan. Pendidikan seharusnya untuk belajar, bukan malah ada kekerasan di dalamnya. Sebagai mahasiswi, saya berharap sekolah dan lembaga pendidikan lainnya lebih menekankan sikap dan attitude yang perlu dipelajari"

Peningkatan pengawasan terhadap lingkungan sekitar sekolah juga diperlukan, terutama dalam hal potensi kekerasan. Dengan adanya pengawasan yang baik, tindakan kekerasan dapat diminimalisir. Mendorong masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di sekolah kepada pihak berwenang juga sangat penting. Pelaporan yang cepat dan akurat akan membantu pihak berwenang untuk mengambil tindakan yang diperlukan.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kekerasan di satuan pendidikan dapat ditekan, dan siswa dapat belajar dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Keamanan dan kesejahteraan siswa adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan komitmen dari semua pihak. Lingkungan pendidikan yang aman tidak hanya akan meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga membantu dalam perkembangan karakter dan kepribadian siswa.

Sebagai penutup, kasus kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia merupakan isu yang mendesak untuk ditangani. Semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, orang tua, hingga masyarakat, perlu bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa. Dengan kolaborasi yang baik, diharapkan setiap siswa dapat belajar dan berkembang tanpa rasa takut, sehingga mereka dapat mencapai potensi terbaik mereka di masa depan.

Kekerasan di sekolah tidak hanya melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang aman, tetapi juga menciptakan dampak jangka panjang yang merugikan bagi individu dan masyarakat. Dengan adanya komitmen dari semua pihak, harapan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif, aman, dan nyaman bagi murid, guru, serta staf sekolah dapat terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun