Gus Miftah, atau Miftah Maulana Habiburrahman, lahir pada 5 Agustus 1981 di Lampung. Ia merupakan keturunan ke-9 dari Kiai Ageng Hasan Besari, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo. Gus Miftah dikenal sebagai seorang penceramah yang mengusung pendekatan dakwah yang unik dan inovatif, sering kali menyasar kelompok marjinal dan tempat-tempat yang dianggap tidak biasa untuk berdakwah, seperti klub malam.
Dalam konteks sosial dan agama di Indonesia, Gus Miftah muncul sebagai figur yang kontroversial namun juga inspiratif. Pendekatannya yang humoris dan santai dalam berdakwah telah menarik perhatian banyak kalangan, terutama generasi muda. Namun, metode dakwahnya juga menuai kritik dari beberapa pihak yang beranggapan bahwa ia seharusnya tidak berdakwah di tempat-tempat yang dianggap tidak pantas.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan keragaman agama dan budaya yang sangat tinggi. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, etika beragama dan pemahaman terhadap ajaran Islam sangat penting dalam menjaga keharmonisan sosial. Dalam konteks ini, Gus Miftah berupaya untuk mengedukasi masyarakat dengan cara yang lebih inklusif, meskipun tidak jarang ia harus menghadapi tantangan dan penolakan dari berbagai kalangan.
Kronologi Peristiwa
Kasus ini bermula pada 20 November 2024, saat Gus Miftah, seorang penceramah dan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama, mengisi acara pengajian di Magelang, Jawa Tengah. Dalam acara tersebut, ia melihat seorang penjual es teh yang sedang berkeliling dengan dagangannya. Gus Miftah kemudian mengolok-olok penjual tersebut dengan ucapan yang dianggap kasar dan merendahkan, seperti "Es tehmu masih banyak enggak? Ya sana dijual, g*bl*k" dan "Jual dulu, nanti kalau belum laku ya sudah, takdir".
Video dari insiden ini segera viral di media sosial dan memicu reaksi negatif dari publik. Banyak netizen dan tokoh masyarakat menganggap tindakan Gus Miftah tidak pantas, terutama mengingat posisinya sebagai pejabat publik dan penceramah. Sebagai respons terhadap kecaman tersebut, Gus Miftah menyampaikan permintaan maaf kepada penjual es teh secara langsung dan mengklaim bahwa ucapannya adalah sebuah candaan.
Reaksi masyarakat terhadap insiden ini sangat beragam. Banyak warganet menunjukkan kemarahan dan mengecam tindakan Gus Miftah, dengan beberapa komentar menyoroti betapa tidak sopannya ia memperlakukan penjual kecil yang sedang berjuang untuk mencari nafkah. Partai Gerindra, tempat Gus Miftah bernaung, juga mendesaknya untuk meminta maaf kepada penjual es teh tersebut, menekankan pentingnya menghormati para pedagang kecil.
Media massa juga meliput insiden ini secara luas, menyoroti kritik dari berbagai kalangan, termasuk tokoh agama dan penulis publik. Mereka menekankan bahwa seorang penceramah seharusnya memberikan teladan yang baik dalam perilakunya. Gus Miftah sendiri mendapatkan teguran dari Sekretaris Kabinet atas perbuatannya dan berjanji untuk lebih berhati-hati dalam berbicara di depan publik.
Keterkaitan dengan Nilai-Nilai Pancasila
Kasus ini mencerminkan pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila, terutama sila kedua yang menekankan "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Tindakan Gus Miftah yang merendahkan seorang pedagang kecil menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam konteks Pancasila, setiap individu harus diperlakukan dengan adil dan beradab tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka.
Selain itu, sila ketiga Pancasila, yaitu "Persatuan Indonesia", juga terancam oleh tindakan semacam ini. Mengolok-olok pedagang kecil dapat menciptakan perpecahan dalam masyarakat dan merusak rasa persatuan di antara warga negara yang beragam.
Keterlibatan Etika Beragama dalam Konteks Kasus
Dari perspektif etika beragama, insiden ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam berdakwah. Islam mengajarkan bahwa setiap individu harus berbicara dengan lembut dan penuh rasa hormat kepada sesama. Al-Qur'an Surat Al-Hujurat ayat 11 menyatakan bahwa umat Islam dilarang mengolok-olok satu sama lain, karena bisa jadi orang yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang melakukannya. Seorang penceramah seharusnya menjadi teladan dalam perilaku dan kata-kata mereka. Ucapan kasar yang dilontarkan oleh Gus Miftah bertentangan dengan nilai-nilai etika beragama, ini menunjukkan bahwa penghinaan terhadap orang lain tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tetapi juga ajaran agama.
Etika beragama juga mengajarkan pentingnya memahami posisi orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Gus Miftah seharusnya menyadari bahwa penjual es teh adalah individu yang sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, tindakan merendahkan orang lain tidak hanya melukai martabat individu tersebut tetapi juga mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama yang seharusnya dipegang oleh seorang penceramah.