Namun, ada satu pikiran yang menggelitik bagi saya, seorang sarjana kependidikan yang sampai sekarang belum berani alih profesi menjadi guru honorer. Guru honorer memang tidak terjerat sistem outsourcing, namun menurut saya, pekerjaannya lebih banyak dibandingkan dengan yang terkena sistem tersebut. Upahnya? Tiap sekolah menerapkan peraturan yang berbeda. Seperti yang saya tulis di artikel saya sebelumnya, di sebuah sekolah di daerah saya menetapkan pengupahan guru honorer berdasarkan "keikhlasan" guru-guru lainnya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) setiap bulannya.Â
Jadi setiap bulan, guru-guru PNS tersebut menyumbangkan sedikit gaji yang mereka peroleh, tidak ada minimum jumlahnya, tergantung keikhlasan masing-masing individunya, lalu jumlah yang terkumpul akan dibagikan kepada sejumlah guru honorer yang ada di sekolah tersebut. Fluktuatif memang, tidak akan selalu sama pendapatan yang guru honorer peroleh setiap bulannya. Tiap sekolah memiliki kebijakan yang berbeda, bisa lebih baik di sekolah lain dan bisa lebih buruk di sekolah yang lainnya. Semuanya serba tidak pasti.
Saya tidak bermaksud menjatuhkan atau menjelekkan buruh dalam hal ini, buruh sudah melakukan banyak hal bagi negara ini, membuat banyak-banyak benda yang kita butuhkan, bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan pasar. Namun sepertinya ada juga yang membutuhkan perhatian di sela-sela hiruk pikuk perayaan May Day hari ini. Lagipula, besok tepat tanggal 2 Mei yang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, boleh lah malam ini saya menguak sedikit kepiluan yang dialami oleh sekian banyak guru honorer yang ada.
Buruh dan Guru Honorer memiliki banyak kesamaan, sama-sama bekerja keras, sama-sama berusaha demi manfaat yang akan kita nikmati bersama, sama-sama berjuang demi kemajuan Negara ini. Memang tidak naif dalam hal pekerjaan yang menghasilkan rupiah, Buruh dan Guru Honorer pun begitu.Â
Jika Buruh menuntut kenaikan upah minimum, lalu bukankah Guru Honorer juga berhak menyuarakan kebaikan bagi kehidupan mereka? Bukan hanya selalu bersembunyi dalam kamuflase bahwa mengajar adalah ibadah, panggilan sosial yang tidak harus mendapatkan upah. Lalu bagaimana nasib keluarga Guru Honorer yang menggantungkan hidup padanya? Haruskah keluarga mereka juga ikut bersembunyi dalam kamuflase tersebut?
Tujuan akhirnya memanglah kesejahteraan bersama, baik buruh maupun guru honorer. Semua ingin sejahtera, tercukupi, bekerja dan mengabdi dengan tenang. Semoga akan semakin banyak pihak yang sama-sama berjuang, demi kesejahteraan bersama.
Selamat Hari Buruh dan Selamat Hari Pendidikan Nasional
Nasib Buruh dan Guru di Indonesia harus lebih sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H