Masih hujan di sini, begitu katamu sambil menggenggam tanganku.
Aku mengusap punggung-punggung jarimu. Tersenyum, tahu bahwa itu cuma skenario rancanganmu supaya bisa tinggal lebih lama bersamaku. Trik usang yang sudah kau pakai sejak dulu. Sebuah upaya yang tak perlu, sebab telingaku telah kembung betul oleh alasan itu.
Malam minggu dan hujan yang menggebu, sungguh bukan paduan serasi bagi rasa rindu. Keduanya cuma simetri dengan sepasang cangkir kopi, tapi tidak untuk sebelah hati yang belum tergenapi.
Maka di sinilah kamu, menjadi ruang untuk aku merapat bersama pelukan yang semakin erat. Di dadamu, kutemukan debur teratur penampik penat paling manjur.
Dari semua catatan para pejalan, lautan milikmu itu yang kudapati paling menenangkan. Kusimpan harapan di palungnya yang terdalam, sementara pasirnya menjadi tempat untuk rasa ini kusandarkan.
Belum mau tidur, tanyamu tanpa melonggarkan genggaman.
Aku ingin tertawa. Kamu selalu begitu, seperti pura2 tak tahu. Ketika sama kamu, biji mataku ini menolak masuk ke ceruk kantuk.
Bahkan, hujan di luar pun belum mau menyerah dan berbalik arah.
“Kenapa orang-orang menyukai hujan?” tanyaku padamu di suatu celah malam Minggu.
“Karena mereka ada di dalam. Aman.”
Untuk sesuatu yang seharusnya bisa memantik mesra, jawabanmu itu jelas membuatku jadi tergulung tawa.