Pemerintah mempunyai kebijakan dalam pengeluaran pemerintah yang dituangkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN ini merupakan daftar yang rinci mengenai penerimaan dan pengeluaran negara yang biasanya memiliki jangka waktu satu tahun. Dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".Â
Pemerintah memiliki tiga macam pilihan untuk Menyusun anggaran yaitu, anggaran belanja seimbang, anggaran belanja defisit, dan anggaran belanja surplus. Proses pembangunan ekonomi yang berkesinambungan menghasilkan peningkatan pendapatan dan dengan demikian meningkatkan permintaan keseimbangan saldo kas di pihak masyarakat. Surplus impor sebagai akibat naiknya bantuan luar negeri permintaan uang mungkin akan lebih besar.
 Setiap defisit ataupun surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki dampak dalam perekonomian negara. Jika terjadi surplus pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomianf, sedangkan bila terjadi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki dampak ekspansi pada perekonomian.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang penting dalam penyusunan APBN. Nilai tukar rupiah berhubungan dengan transaksi APBN yang berkaitan dengan mata uang asing, seperti penerimaan minyak, pemberian subsidi BBM, penerimaan pinjaman dan pembayaran hutang luar negeri. Sehingga, dasar ekonomi makro tersebut sangat menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran negara, termasuk dana perimbangan, serta besarnya pembiayaan anggaran.Â
Pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang lalu terjadi perubahan sistem nilai tukar yaitu perubahan sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem mengambang bebas yang memberikan keterlibatan terhadap perekonomian di Indonesia. Perubahan ini merupakan dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah dan semakin sedikitnya cadangan devisa untuk mempertahankan tingkat nilai tukar. Menurut Soeharsono dalam artikelnya, ada lima kelemahan fundamental ekonomi Indonesia yaitu:
- Kondisi dan posisi defisit neraca berjalan cenderung meningkat, memberikan dampak kenaikan ekspor yang lamban dibandingkan dengan defisit neraca yang terus meningkat,
- Posisi cadangan devisa yang bersumber pada utang luar negeri dan transaksi modal masuk bukan bersumber dari surplus neraca perdagangan,
- Pertumbuhan ekonomi dipicu melebihi kapasitas tabungan dalam negeri, utang luar negeri membengkak tidak terkendali, utang sektor swasta jangka pendek diinvestasikan pada sektor yang tidak menghasilkan devisa,
- Kondisi moneter- perbankan yang kurang sehat,
- Suku bunga kredit yang tinggi,
Harapan perubahan nilai tukar di masa yang akan datang menjadi hal penting sejak nilai tukar mengambang diberlakukan. Fluktuasi nilai tukar menjadi ukuran kestabilan perkenonomian suatu negara. Nilai tukar yang berlebihan tidak sesuai dengan sasaran kepentingan jangka Panjang, karena ketidakstabilan dapat berpengaruh pada tingkat daya saing ekonomi, mengurangi efisiensi alokasi sumber daya dan meningkatkan ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi.Â
Berdasarkan pernyataan diatas, ada suatu kondisi dimana pemerintah dihadapkan dengan dua permasalahan yang sangat penting dalam perekonomian negara yaitu permasalahan defisit APBN dan nilai tukar.Â
Defisit APBN berpengaruh terhadap ekspansi dalam perekonomian, sedangkan nilai tukar berhubungan dengan perdagangan luar negeri. Defisit APBN dapat meningkatkan persediaan valuta asing dengan asumsi pemerintah membiayai pembangunan dengan memanfaatkan pinjaman dari luar negeri sedangkan di sisi lain juga akan meningkatkan beban hutang negara dalam bentuk valuta asing dikemudian hari. Fluktuasi nilai tukar akan berdampak pada perubahan dalam menentukan besarnya nilai pembayaran pinjaman luar negeri dan pengeluaran pemerintah lainnya yang didanai oleh APBN.
Pada tahun 2018 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berada di Rp 15.133 per dollar AS. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengakui pelemahan nilai tukar Rupiah akan berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terkait dengan pergerakan nilai tukar Rupiah, pada tahun 2018 Bank Indonesia menyatakan bahwa secara relatif pelemahan nilai tukar terhadap dollar AS juga dialami oleh negara regional. Pergerakan nilai tukar Rupiah dapat dikatakan terkendali, karena nilai Rupiah menurun secara perlahan.Â
Pelaku usaha juga tidak ingin penguatan dan pelemahan mata uang terjadi terlalu cepat. Pihak kementerian keuangan terus memantau pergerakan nilai tukar ini. Sebab dampak nilai tukar rupiah yang melemah tidak hanya kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi hampir semua sektor ekonomi akan terkena imbasnya. Seperti Produk Domestik Bruto/ (Gross Domestic Product), harga minyak mentah dunia, investasi, ekspor dan impor, serta inflasi.
Yang paling terdampak adalah sektor ekspor impor. Sebab, setiap transaksi yang dilakukan menggunakan mata uang dalam bentuk dollar AS. Biasanya secara teoritis bisa disebutkan jika rupiah mengalami pelemahan maka ekspor kita akan lebih kompetitif, tapi disaat yang sama impor juga akan semakin melebar. Saat impor barang modal semakin melebar dapat diartikan infrastruktur juga semakin meluas.