Mohon tunggu...
Putri Rahmawati
Putri Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hai saya Putri Rahmawati, mahasiswa jurusan pendidikan semester 6, saya sangat tertarik dengan pembahasan atau isu aktual terkait pendidikan, kebijakan, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keberpihakan Anggaran sebagai Solusi Jitu Atasi Polemik Pendidikan Inklusi

19 Mei 2023   18:05 Diperbarui: 19 Mei 2023   18:08 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyelenggaraan dan penyediaan layanan pendidikan inklusi yang aksesibel,merata, dan berkualitas merupakan tanggung jawab dari pemerintah. Di dalam UndangUndang No. 22 tahun 1989 pasal 5 telah diamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Selaras dengan hal tersebut di dalam Peratuan Pemerintah no. 70 tahun 2009 juga tertulis jelas dalam pasal 1 bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan, dan atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya serta pendidikannya dapat diselenggarakan secara inklusif. Oleh karena itu, upaya pemenuhan hak pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sudah sepatutnya dijadikan prioritas.

Akan tetapi dalam praktiknya pemenuhan hak pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sejauh ini belum dijadikan prioritas. Hak pendidikan bagi para anak berkebutuhan khusus baik yang bersekolah di sekolah khusus maupun sekolah inklusi masih terhambat. Jika dibandingkan dengan anak non ABK, sangat banyak para ABK usia sekolah yang tidak pernah sekolah atau tidak lagi bersekolah dengan berbagai alasan, baik persoalan ekonomi maupun persoalan aksesibilitas yang belum memadai, padahal jumlah anak berkebutuhan khusus atau ABK terus meningkat setiap tahun nya. Tak hanya itu, berbagai masalah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi juga turut menyertai, seperti dalam melakukan penetapan sekolah inklusi pemerintah provinsi dirasa melakukan penetapan sepihak tanpa adanya koordinasi dengan pihak pemerintah kabupaten/kota, penetapan sekolah inklusi oleh pemerintah kabupaten/kota belum disertai sarana dan prasarana yang memadai, belum ada atau masih minimya guru pendamping khusus untuk ABK, belum ada plang khusus untuk sekolah inklusi dan belum ada akses bagi ABK seperti jalur kursi roda, toilet khusus, kursi roda, dan tongkat kek. Selain itu implementasi pendidikan inklusi oleh pemerintah kabupaten/kota masih seakan dianaktirikan, belum memanusiakan manusia, dan masih terdapat diskriminasi, terdapat guru yang tidak setuju dengan kehadiran ABK dan menyarankan ABK dipisah dalam kelas tersendiri, tidak ada honor yang jelas bagi guru pendamping khusus (GPK) sehingga kesejahteraan GPK masih rendah, dan orang tua yang justru diminta iuran terkait honor GPK dan dihadapkan pada biaya layanan medis dan fisiologis ataupun layanan sosial psikologis anaknya, padahal tidak semua perekonomian orang tua berada dalam kategori mampu (Alfikri et al., 2022). Kalau sudah begini maka orang tua dari ABK tersebut tentu akan lebih terbebani dan sangat mungkin terpaksa membatalkan rencana menyekolahkan anaknya. Melihat realita ini bahkan sebuah yayasan milik masyarakat sampai tergerak hati melakukan penggalangan dana untuk membantu orang tua dalam membiayai pendidikan inklusi anaknya tersebut. Tindakan yang dilakukan yayasan tersebut sudah sangat tepat dan mulia, namun sebenarnya ada yang lebih berwenang untuk membantu menyediakan layanan pendidikan inklusi yang aksesibel dan gratis.

Solusi yang paling efektif atas berbagai polemik permasalahan pendidikan inklusi tersebut sebenarnya hanya satu, yaitu terkait tentang keberpihakan anggaran. Kenaikan anggaran di Kementerian Pendidikan setiap tahunnya selama ini belum disertai pengembangan atau road map yang jelas. Kenaikan tersebut belum menyentuh semua kebutuhan dunia pendidikan, khususnya sekolah inklusi. Padahal pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada rencana anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran 2023 yang disetujui oleh DPR RI bersama pemerintah sebesar 80,2 triliun rupiah. Pemerintah dalam hal ini baik tingkat pusat maupun daerah sudah selayaknya sungguh-sungguh untuk mengalokasikan anggaran bagi pendidikan inklusif agar bisa mencapai target penyelenggaraan dan penyediaan layanan pendidikan inklusi yang aksesibel, merata, dan berkualitas. Pemerintah baik pusat dan daerah perlu untuk tetap menjaga mandatory spending anggaran pendidikan berdasarkan amanat konstitusi yaitu sebanyak 20% dari APBN, sehingga dari alokasi anggaran tersebut diharapkan dapat digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung ABK seperti jalur kursi roda, toilet khusus, kursi roda, dan tongkat kek di setiap sekolah inklusi, menyediakan pelatihan bagi guru bidang studi untuk dilatih menjadi GPK, menyediakan alat bantu ajar serta pembentukan Unit Layanan Disabilitas (UDL) di setiap wilayah sebagaimana amanah Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, membayar honor GPK dengan layak, dan menyediakan sekolah inklusi yang lebih masif dan gratis agar pendidikan inklusi ini dapat diakses oleh ABK terutama yang berada dalam kategori kurang mampu.

Tanggung jawab penyelenggaraan, penyediaan, dan pengawalan layanan pendidikan inklusi tersebut sebenarnya tidak hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan memerlukan kerjasama kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, sekolah, orang tua, keluarga, komite sekolah, dan stakeholder atau kelompok-kelompok masyarakat, baik yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan seperti organisasi penyandang cacat, lembaga swadaya masyarakat seperti yayasan pendidikan, dll. Sekolah inklusi dalam hal ini perlu menjalin kerjasama atau memiliki link dengan universitas negeri maupun univeritas swasta yang memiliki Jurusan Pendidikan Luarbiasa (PLB) agar suplai terkait kebutuhan guru pendamping khusus atau GPK di sekolah inklusi dapat terpenuhi (Rusmono et al., 2020). Pemerintah juga perlu memperbanyak membuka jurusan PLB di universitas negeri maupun universitas swasta. Kemendikbud dalam hal ini juga perlu mengundang guru bidang studi bagi sekolah yang menerima siswa ABK untuk dilatih menjadi GPK dan pemerintah berkewajiban memberikan pemahaman mengenai pemerataan pendidikan inklusif kepada kepala sekolah maupun kepada stakeholder lainnya. Sekolah juga harus melibatkan orang tua sesuai perannya dan sekolah harus memiliki komunikasi yang baik dengan orang tua anak berkebutuhan khusus agar orang tua dan pihak sekolah memiliki kesamaan pandang dan tugas-tugas yang harus diberikan pada anak, sehingga orang tua tidak menaruh harapan tinggi atau egois terhadap kemampuan anak. Guru sebagai tonggak keberhasilan pembelajaran dalam kelas inklusi dalam hal ini juga perlu dipersiapkan mental dan pengetahuannya tentang pendidikan inklusi. Dalam proses pembelajaran dikelas, guru yang memegang kendali berkewajiban untuk mendorong, membimbing dan memberikan fasilitas belajar yang memadai agar anak berkebutuhan khusus dapat mencapai tujuannya dan terlayani dengan baik (Amalia et al., 2021). Tak hanya itu orang tua dari pihak siswa regular perlu diberikan sosialisasi terkait adanya siswa anak berkebutuhan khusus dan kelas inklusi agar tidak terjadi penolakan dari mereka karena kekhawatiran yang berlebih karena kedatangan siswa anak berkebutuhan khusus dan kesalahan tentang pemahaman siswa anak berkebutuhan khusus. Melalui kerjasama kemitraan yang baik dan keberpihakan anggaran inilah diharapkan dapat menjadi solusi jitu atas polemik pendidikan inklusi yang ada, dan jargon education for all yang selama ini digaungkan untuk anak berkebutuhan khusus di negara Indonesia tidak hanya sebagai ucapan belaka, melainkan dapat menjadi fakta.

Referensi:

Alfikri, F., Khodijah, N., & Suryana, E. (2022). Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusi. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(6), 7954-7966.

Amalia, N., & Kurniawati, F. (2021). Studi literatur: Peran guru pendidikan khusus di sekolah inklusi. Jurnal Kependidikan: Jurnal Hasil Penelitian dan Kajian

Kepustakaan di Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran, 7(2), 361-371. 

Rusmono, D. O. (2020). Optimalisasi Pendidikan Inklusi di Sekolah: Literature Review. Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, 7(2), 209-217.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun