Kondisi ini menunjukkan bahwa masa remaja, yang seharusnya menjadi periode pembentukan karakter dan pencarian jati diri, justru menjadi fase yang rentan terhadap pengaruh negatif jika tidak mendapatkan arahan dan pendampingan yang memadai dari keluarga, sekolah, maupun lingkungan sosial.
Â
Kenakalan remaja pada dasarnya adalah hasil dari kesalahan dalam memproses informasi yang diterima, yang sering kali disebabkan oleh kegagalan dalam menjalani proses perkembangan jiwa mereka, baik pada masa kanak-kanak maupun remaja. Menurut Rijalihadi, kegagalan ini mencakup ketidaksiapan individu dalam menghadapi perubahan fisik, psikis, dan emosi yang terjadi begitu cepat selama masa kanak-kanak hingga remaja.
Lis dan Herlan (2012) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar norma, membahayakan diri sendiri, menimbulkan kerugian materi pada orang lain, atau menyebabkan korban fisik. Perilaku tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kategori:
- Melanggar status, seperti membolos sekolah, melawan orang tua, atau pergi tanpa izin.
- Membahayakan diri sendiri, seperti mengendarai kendaraan bermotor tanpa helm atau dengan kecepatan tinggi, penyalahgunaan narkoba, penggunaan senjata, berkeliaran di malam hari, hingga pelacuran.
- Tindakan kriminal, meliputi semua perilaku yang melanggar hukum pidana yang dapat merugikan pelaku maupun orang lain.
Kenakalan remaja bukan hanya menyimpang dari norma sosial dan hukum, tetapi juga menciptakan dampak negatif pada pelaku serta lingkungan sekitar. Ketika perilaku ini diabaikan atau dihadapi secara permisif, ada risiko bahwa perilaku tersebut berkembang menjadi kebiasaan yang sulit diubah dan bahkan terstruktur secara budaya. Oleh karena itu, upaya pencegahan sangat penting untuk mencegah kenakalan ini menjadi pola yang berulang.
Langkah pencegahan bisa berupa pemberian peringatan atau penerapan larangan yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat. Selain itu, semua elemen dalam lingkungan sosial, termasuk keluarga, sekolah, komunitas, dan pemerintah, perlu berperan aktif dalam memberikan pendampingan, advokasi, dan pembimbingan kepada remaja. Dengan begitu, remaja dapat diarahkan untuk mengembangkan potensi positif mereka secara maksimal, sehingga terhindar dari perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Urgensi Pendidikan Karakter pada Remaja
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari 233 juta penduduk Indonesia, sekitar 26,8% atau 63 juta jiwa adalah remaja berusia 10-24 tahun. Periode 2020-2030 diproyeksikan sebagai masa Bonus Demografi bagi Indonesia, di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70% dari total populasi. Kondisi ini memberikan peluang besar untuk mempercepat pembangunan bangsa. Namun, jika pembinaan terhadap remaja dan penduduk usia produktif tidak dilakukan dengan baik, potensi ini dapat berubah menjadi beban karena kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas (Effendi, 2018).
Pendidikan karakter menjadi elemen kunci dalam membina remaja sebagai generasi yang akan memegang peran penting di masa depan. Remaja, yang berada pada masa pencarian jati diri, cenderung ingin mencoba hal-hal baru yang mereka lihat atau dengar tanpa mempertimbangkan dampaknya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu, pembinaan berupa pendidikan karakter diperlukan untuk mengarahkan mereka menjadi individu yang mampu membawa kemajuan bagi bangsa.
Muhammad Kristiawan menekankan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk membantu remaja mengendalikan diri agar tidak terjerumus pada perilaku negatif, serta menginternalisasi karakter positif yang dapat bertahan secara permanen. Proses pendidikan yang profesional menjadi kunci dalam membentuk karakter peserta didik. Pendidikan karakter ini idealnya diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, informal, dan nonformal.
Pada usia remaja, individu berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang membuat mereka memiliki kepribadian yang masih labil. Masa ini merupakan momen krusial dalam pembentukan karakter, yang akan memengaruhi kepribadian mereka saat dewasa (Kristiawan, 2015). Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak hanya menjadi sarana untuk mengarahkan perilaku positif, tetapi juga berperan strategis dalam menciptakan generasi yang berintegritas, berkualitas, dan siap menghadapi tantangan masa depan.