Mohon tunggu...
Putri Rahayu Pangestu
Putri Rahayu Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya gemar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dampak Keluarga Broken Home pada Perkembangan Kognitif Anak Tingkat SD

14 November 2024   23:15 Diperbarui: 14 November 2024   23:59 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dampak Keluarga Broken Home pada Perkembangan Kognitif Anak Tingkat SD

Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian serta perkembangan anak. Ketika anak tumbuh dalam keluarga yang harmonis, mereka biasanya mendapatkan dukungan emosional, sosial, dan pendidikan yang lebih stabil. Namun, pada anak-anak yang mengalami kondisi *broken home*, di mana orang tua bercerai atau tidak tinggal bersama, lingkungan yang penuh tekanan dan ketidakstabilan emosional dapat berpengaruh besar, termasuk pada perkembangan kognitif mereka.

Anak-anak dari keluarga *broken home* sering kali membawa permasalahan rumah ke dalam aktivitas sehari-hari mereka, termasuk di sekolah. Ketidakpastian, kekhawatiran, atau stres akibat situasi keluarga dapat mengganggu konsentrasi mereka di kelas. Anak mungkin menjadi lebih mudah terganggu dan mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian pada pelajaran, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk menyerap materi. Studi menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh sering kali mengalami penurunan prestasi akademik dibandingkan anak-anak yang hidup dalam keluarga yang stabil. Faktor-faktor seperti kurangnya dukungan emosional, stres, dan berkurangnya bimbingan dalam belajar dapat membuat anak kurang termotivasi atau merasa kesulitan untuk memenuhi tuntutan akademik.


Kondisi *broken home* dapat menghambat perkembangan kemampuan kognitif anak dalam hal pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Anak-anak mungkin tidak mendapatkan cukup contoh atau dukungan dari orang tua dalam membuat keputusan atau menyelesaikan masalah, karena orang tua mereka sibuk dengan permasalahan mereka sendiri atau bahkan tidak ada untuk memberikan bimbingan yang konsisten. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh konflik atau perpisahan bisa mengembangkan persepsi negatif terhadap sekolah dan proses belajar. Jika orang tua tidak memberikan dorongan yang cukup atau jika anak merasa terabaikan, mereka bisa merasa kurang termotivasi dalam belajar. Persepsi negatif ini dapat membuat anak kurang menghargai pendidikan dan menganggapnya sebagai beban, bukan sebagai kesempatan untuk berkembang.

Perkembangan kognitif erat kaitannya dengan kesejahteraan emosional anak. Anak-anak *broken home* sering kali merasa cemas, sedih, atau bahkan marah. Perasaan negatif yang berkepanjangan ini dapat menghambat fungsi kognitif mereka karena energi mental yang terfokus pada permasalahan emosional. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis, daya ingat, dan kreativitas bisa terhambat karena anak lebih banyak merasa tertekan secara emosional. Di usia sekolah dasar, kegiatan belajar sering kali melibatkan kerja sama kelompok dan interaksi sosial dengan teman sebaya. Anak-anak *broken home* yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara sosial dapat merasa terisolasi dan kurang percaya diri dalam berinteraksi dengan teman-temannya. Ketidaknyamanan dalam lingkungan sosial sekolah ini dapat mengurangi kesempatan anak untuk terlibat aktif dalam diskusi kelompok atau kegiatan belajar kolaboratif yang penting bagi perkembangan kognitif mereka.

Beberapa anak *broken home* mungkin menunjukkan perilaku bermasalah di kelas, seperti menjadi agresif atau menarik diri. Gangguan perilaku ini sering kali disebabkan oleh kebingungan atau kemarahan atas situasi keluarga yang tidak stabil. Perilaku ini tidak hanya mengganggu proses belajar mereka sendiri, tetapi juga berdampak pada suasana kelas secara keseluruhan, yang pada akhirnya mengurangi kesempatan mereka untuk belajar dengan baik. Anak usia sekolah dasar sangat membutuhkan dukungan orang tua dalam kegiatan belajar di rumah, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Di dalam keluarga *broken home*, dukungan tersebut mungkin kurang konsisten atau tidak ada sama sekali. Anak-anak yang kurang mendapat perhatian ini mungkin tertinggal dalam hal literasi dan numerasi, yang merupakan dasar dari perkembangan kognitif lebih lanjut.

### Kesimpulan

Anak-anak dari keluarga *broken home* rentan terhadap berbagai tantangan dalam perkembangan kognitif mereka. Dampak dari kondisi keluarga yang tidak stabil dapat berpengaruh pada kemampuan anak untuk fokus, menyelesaikan masalah, berprestasi akademik, dan berinteraksi sosial. Dukungan yang lebih besar dari guru, konselor sekolah, serta orang tua sangat diperlukan agar anak-anak ini dapat menghadapi tantangan emosional mereka, sehingga perkembangan kognitif mereka tidak terhambat. Program konseling di sekolah dan keterlibatan aktif dari komunitas pendidikan dapat membantu anak-anak *broken home* untuk tetap mendapatkan lingkungan belajar yang mendukung, demi pertumbuhan kognitif yang optimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun