Pala merupakan tanaman endemik yang dulu hanya ada di Kepulauan Banda. Diksidiksi Eropa Sentris, sejauh ini mengambarkan bahwa budaya kuniner Eropa mempengaruhi budaya kuliner lokal. Bahwa orang Eropa yang pertama mengunakan bumbu masakan dengan campuran pala. Padahal faktanya bangsa Barat yang datang ke dunia Timur atas tarikan cengkeh, pala, dan bunga pala lazimnya disebut rempah-rempah, yang memiliki mutiguna termasuk dalam persoalan cita rasa makanan, kosmetik dan obat-obatan. Tradisi pengobatan tradional di Banda Naira yang hingga kini masih digunakan dan dilestarikan oleh para orang tua di Banda Naira ketika anak-anak mereka terkena sakit tulang (kasaleo), yakni dengan membalutkan racikan pala untuk meredakan rasa perih.
Rempah-rempah hasil kepulauan Maluku seperti cengkih, pala merupakan petunjuk penting untuk mengetahui bilamana Maluku mengadakan hubungan dengan dunia luar. Menurut para ahli tumbuh-tumbuhan tanah asal dari rempah-rempah itu adalah Maluku, lebih tepat lagi pala berasal dari Maluku Tengah, dan cengkih dari Maluku Utara. Orang Tionghoa rupanya sudah mengetahui bahwa cengkih hanya dapat diambil dari Maluku.
Rempah  pada dasarnya jenis tumbuhan juga dari tumbuhannya dapat dimanfaatkan oleh dan untuk kehidupan manusia dalam konteks kemanfaatan dan penggunaan yang beragam. Akan tetapi, tidak semua tumbuhan tersebut hidup di semua pulau atau daratan sehingga banyak bangsa-bangsa yang harus pergi jauh untuk mendapatkan kebutuhan tersebut titik Besar Utara dalam kurung Indonesia adalah ribuan pulau yang penuh dengan tumbuhan rempah tumbuhan rempah sehingga Dalam sejarahnya Nusantara telah menjadi perhatian dalam perebutan banyak negara-negara Eropa keramat terutama yang dahulu dikenal sebagai benua Eropa titik dalam praktik dan proses temuannya Komnas rempah ditemukan dan dimanfaatkan untuk beragam keperluan hidup titik dalam berbagai penggunaan tersebut rempah Mengalami berbagai apresiasi dalam artikulasi yang berbeda melalui dari hal-hal mistik dan mitos dalam berbagai ritualnya peroleh pengobatan kelengkapan dan prestise dapur hingga dalam sastra lebih dari itu rempah menjadi pergerakan dan jenis penting dalam politik dan pergerakan dan konflik kekuasaannya.
Perjalanan rempah pada era ini bukan saja menumbuhkan jalur perdagangan untuk rempah, namun di sepanjang itu bisnis berkembang juga komoditi-komoditi lain yang saling dipertukarkan. Pada akhirnya di sepanjang rute berkembang tengkulak-tengkulak yang memperdagangkan barang-barang kebutuhan. Tentu perdagangan salah satu jalur pasokan rempah menjadi langka. Dari sinilah titik balik mulainya perjalanan para pedagang Eropa ke wilayah Indonesia.
Jalur rempah mengacu pada sistem perdagangan yang digunakan dalam sejarah untuk menghubungkan produsen rempah-rempah di wilayah-wilayah penghasil dengan pasar-pasar di seluruh dunia perdagangan ini terutama digunakan untuk mengangkut rempah-rempah seperti merica, cengkih, kayu manis, jahe, dan berbagai jenis rempah lainnya perdagangan ini menjadi penting karena rempahrempah pada masa itu memiliki nilai yang sangat tinggi dan dicari di berbagai belahan dunia. Salah satu jalur rempah yang paling terkenal adalah "Jalur Sutra" yang menghubungkan Cina dengan kawasan Timur Tengah dan Eropa melalui perantaraan berbagai kota perdagangan di Asia Tengah Meskipun jalur ini lebih dikenal dengan perdagangan sutra, namun juga merupakan jalur penting bagi perdagangan rempah-rempah. Selain Jalur Sutra, ada pula Jalur Rempah-rempah yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Timur Tengah dan Eropa Rempah-rempah yang diproduksi di wilayah seperti Kepulauan Maluku (dikenal sebagai"Kepulauan Rempah-rempah") di Indonesia sangat dicari dan diangkut melalui jalur ini untuk diperdagangkan di berbagai belahan dunia.
Jalur perdagangan rempah-rempah ini memiliki dampak yang besar terhadap hubungan internasional, pembentukan kerajaan dan koloni, serta perubahan budaya dan ekonomi di berbagai negara yang memiliki Kekayaan rempah-rempah juga menjadi salah satu
faktor pendorong utama dari eksplorasi laut oleh bangsa Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 seiring berjalannya waktu dan perubahan dalam perdagangan global, kepentingan perdagangan rempah-rempah mulai berkurang. Meskipun begitu, warisan dari jalur rempah masih dapat ditemukan dalam budaya, kuliner, dan sejarah di banyak negara di dunia.
Pola perdagangan awal antara orang Banda dengan para pedagang lokal dan Asia tidaklah serumit bangsa Belanda. Menurut penuturan warga Banda, dulu perdagangan dilakukan dengan cara yang sederhana. Kedua belah pihak baik para pedagang dari luar dan orang Banda menyepakati harga jika kedua belah pihak telah sepakat maka mereka berjabat tangan dan transaksi dianggap sah dan mengikat. Begitu terus setiap transaksi antara orang Banda dan orang luar.
Sebagai bumbu pada bangsa barat menunjukkan pengaruh dunia Timur Dalam tradisi mereka titik Dengan demikian penjelajahan barat mempercayakan komoditas rempah-rempah sama memperkenalkannya ke negara asal dari mereka, dan memperdalam pengetahuan tentang komponen penting dalam masa ke masakan Asia, rempah-rempah tidak hanya digunakan sebagai penyedap rasa atau penambah aroma. Dalam berbagai masyarakat, rempah-rempah juga digunakan untuk mengawetkan makanan, mengikat beberapa bahan makanan hanya ada saat musim-musim tertentu.
Orang Banda lebih menyukai perdagangan dengan para pedagang lokal seperti Jawa, Bugis atau orang-orang Asia seperti China, Arab, dan India. Hubungan antara pedagang lokal atau Asia ini lebih santai ketimbang dengan para pedagang Belanda yang penuh dengan cekcok masalah dengan perjanjian kontrak. Selain itu, para pedagang lokal bukan saja membeli pala dari warga lokal namun mereka juga menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari mereka. Banda sebagai pulau kecil yang hanya menghasilkan pala pada akhirnya membutuhkan pasokan makanan seperti beras sagu dan kebutuhan lainnya seperti kain untuk pakaian dan alat-alat rumah tangga yang biasanya ditawarkan oleh bengsa China.
Banda hari ini dikenal sebagai masyarakat yang multikultur sebenarnya telah terjadi sejak dari dulu. Proses menjadi multikultural telah berlangsung paling tidak sejak adanya perdagangan rempah. Seperti yang dijelaskan oleh Kapten Keeling seorang pedagang Inggris pada tahun 1609, Banda adalah "bangsa yang terdiri dari banyak orang yang majemuk" (Purchas dan Hakluyt dalam Lape, 2000). Setidaknya terdapat sebuah referensi dalam dokumen sejarah yang mencatat penduduk Turki, Persia, Bengal, Gujarat, Cina, Jepang, Melayu, Jawa, orang Makassar, dan orang-orang dari Pulau Maluku lainnya seperti Seram, Ambon, Kei, Ternate, Tidore, dan Aru di Banda sebelum kedatangan Bangsa Eropa (ibid).
Banda Naira dengan kekayaan rempah pala dan fuli, membuat penjajah Belanda yang sebagian besar di dominasi oleh para lelaki,turut menghadirkan seni memasak dengan perpaduan cita rasa pala. Selain memiliki kekayaan pala, alam Laut Banda menyajikan berbagai macam biota laut dan jenis ikan segar yang dapat dikonsumsi setiap saat. Mengolah ikan segar dengan madukan pala bagi kompeni Belanda ketika berada di Banda Naira, bukanlah persoalan yang sulit. Pasalnya bumbu-bumbu rempah itu diperoleh dengan cara mudah, pala tersedia gratis bebas dikonsumsi untu semua kalangan. Tidak seperti halnya di Eropa pada abad pertengahan, pala selain mahal harganya, juga hanya dikonsumsi oleh mereka yang berkedudukan tinggi dalam strata sosial masyarakat, baik untuk campuran bumbu masak ataupun sebagai obat-obatan. Budaya seni memasak Belanda, rupanya telah mempengaruhi cita rasa kuliner lokal. Pasalnya Belanda adalah bangsa Eropa yang termasuk paling lama menetap di Banda Naira.