Bahasa merupakan salah satu fenomena sosial masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi manusia sehingga dapat dikatakan bahasa memegang peranan penting. Kajian bahasa dalam tradisi Islam jauh lebih awal dilakukan ketimbang perkembangan ilmu bahasa Barat modern, dan sudah mapan sejak abad ke-7, karena terkait dengan Al-Qur'an sebagai mukjizat yang terletak pada bahasa dan sastranya yang mempengaruhi perkembangan ilmu bahasa dan sastra Arab.
Ilmu bahasa atau linguistik adalah ilmu yang membahas bahasa, baik intrinsikalitasnya maupun ekstrinsikalitasnya yang terkait erat dengannya karena ikut mempengaruhi konstruksi bahasa. Intrinsikalitas merupakan sisi internal bahasa sebagai entitas yang berdiri sendiri [dakhiliyyah al-lughah] mulai dari fonetik, fonologi, leksem, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan kerangka gagasan bahasa dan para tokohnya, termasuk di dalamnya kajian ilmu bahasa atau linguistik penerjemahan bahasa, pemerolehan bahasa, pembelajaran bahasa asing, dan juga perbandingan bahasa.
Leksikografi terkait dengan semua bidang kajian linguistik, baik yang mikro (fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik) maupun yang makro (sosiolinguistik, antropolinguistik, dialektologi dan lainnya). Secara sederhana leksikografi diartikan sebagai pengetahuan dan seni menyusun kamus-kamus bahasa dengan menggunakan sistematika tertentu untuk menghasilkan produk kamus yang berkualitas, mudah dan lengkap.
Bangsa Arab, terutama umat Islam, belum banyak yang mengenal pentingnya kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus bahasa Arab.
Menurut Dr. Imel Ya'qub, ada tiga faktor yaitu mayoritas bangsa Arab masih ummy (buta huruf), tradisi nomadisme dan perang, serta lebih senang bahasa dengan bahasa lisan. Leksikografi dalam Islam, bisa dilihat dari munculnya banyak kamus sejak abad ke-7 atau ke-8. Bahkan, dalam Islam juga terdapat teori bahasa sebagai penanda dari suatu makna sebagai petanda, yaitu teori ramz (symbol) dari Ibnu Jini. Menurutnya, makna bahasa bukan hanya makna suara, morfologis, dan sintaksis melainkan juga makna sosial, yang sebanding dengan teori kontekstual.
Dalam Islam, sebagai bagian intrinsik dalam ilmu bahasa, fonologi disebut 'Ilm al-Ashwat merupakan cabang linguistik yang mengkaji tentang lambang bunyi bahasa berdasarkan fungsinya, leksikografi disebut 'Ilmu al-Ma'ajim, morfologi disebut 'llmu as-Sharf, sintaksis disebut 'llmu an-Nahwu atau I'rab, wacana disebut 'Ilmu al-Khithab, semantik disebut 'Ilmu ad-Dilalah, teori bahasa disebut Nazhariyyah al-Lughah, dan ilmu bahasa disebut dengan 'Ilmu al- Lughah, meski pada masa klasik dan pertengahan Islam (abad ke-7-17) dikenal dengan Fiqh al-Lughah.
Ilmu bahasa merupakan ilmu yang paling cepat mapan bersama ilmu fiqh, karena luasnya wilayah kekuasaan umat Islam yang tidak ada preseden sebelumnya sejak abad ke-7. Untuk mengatur luasnya wilayah itu, maka diperlukan aturan hukum yang mengikat dan bisa bekerja efektif. Untuk kepentingan komunikasi mengatur luas wilayah imperium dan memudahkan pembelajaran atas bahasa Arab agar komunikasi bisa berjalan baik bahkan juga untuk kepentingan ilmiah diperlukan bahasa.
Karenanya, 'Ilmu al-Ma'ajim, 'Ilmu as-Sharf, 'Ilmu an- Nahwu, 'Ilmu ad-Dilalah, dan Nazhariyyah al-Lughah sudah tumbuh dan berkembang, bahkan mapan sejak abad ke-7. Kepentingan terhadap keharusan segera mapannya ilmu bahasa juga untuk keperluan penyebaran agama kepada bangsa non Arab. Selain dipengaruhi bahasa Al-Qur'an dan Hadis, juga kerangka ilmiah dari helenisme. Karena, dalam Sharaf dan Nahwu terdapat metodologi analogi dan nalalogi yang sangat berpengaruh kuat pada ilmu bahasa Arab, tidak hanya sima'i.
Dengan begitu, bahasa Arab mudah dipelajari dan dipahami non Arab. Bahasa Arab terdiri dari 28 alfabet dan 34 fonem, tergolong sebagai bahasa semantik yang memiliki struktur dan fonologi sama dengan bahasa lain pada rumpun yang sama. Pada awalnya, proses pemaknaan kosakata dalam bahasa Arab bermula melalui metode pendengaran (al-Sima'i), yaitu pengambilan riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung perkataan orang-orang Badui. Kemudian, metode pendengaran bergeser ke metode analogi (Qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan teori tertentu yang dibuat oleh para ahli bahasa. Salah satunya, metode Qiyas ala Khalil yang mengedepankan bentukan kata melalui teknik khusus yang dikenal dengan Taqlibul Kalimah.
Untuk kepentingan studi Islam juga, kajian leksem sudah mapan sejak abad ke-7 di tangan Imam as-Syafii, dalam ilmu tafsir di tangan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Tata bahasa, bahasa Indonesia mencakup morfologi dan sintaksis. Adapun tata bahasa dalam bahasa Arab, mencakup Nahwu dan Sharaf.
Nahwu adalah ilmu yang mempelajari kata ketika sudah berada di dalam kalimat dan Sharaf adalah ilmu yang membahas kata sebelum kata itu berada di dalam kalimat. Kedua disiplin ilmu ini dianggap memiliki relasi yang erat antara satu dengan yang lainnya. Owens menamai pada periode pasca Sibawaih para tata bahasawan Arab memberikan porsi sintaksis yang lebih lebar daripada morfologi dalam sistematika yang acak. Paradigma semacam ini menjadi mainstream dalam tradisi linguistik Arab tradisional, bertransformasi menjadi satu sistematika teoritis yang mengangkat prinsip prioritas sintaksis di atas wilayah morfologi. Hal ini terbukti pada sebagian besar literatur gramatika Arab yang menempatkan wilayah morfologi pada posisi rendah.
Paradigma morfologi semacam ini secara nyata pada taraf sintaksis terbukti dalam konsepsi perubahan vokal di akhir kata pada suatu struktur kalimat yang dalam teori Arab dikenal dengan konsep i'rab. Jadi, dalam gramatika bahasa Arab ada satu peran morfologis yang sangat krusial dalam struktur sintaksis. Artinya morfologi Arab memegang peran penting dalam sistem sintaksisnya. Morfologi Arab mempunyai sistem yang sangat kompleks, semua aturan yang diterapkan dalam morfologi Arab harus dijelaskan secara tuntas dalam sajian yang logis.
Sedangkan wacana merupakan keseluruhan teks beserta konteks teks dan sosial budaya atau politik yang mengitarinya, dalam linguistik Arab dibahas dalam ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh. Salah satu teori analisis wacana yang terkenal adalah Norman Fairclough. Wacana yang koherensif ditandai dengan adanya hubungan kausal dan hubungan retoris. Wacana dikatakan padu apabila kalimatnya disusun secara padu dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntutan ide melalui penanda kekohesian.
Dengan demikian, kekoherensian sebuah wacana sangat penting. Kemudian, pemahaman terhadap konteks menjadi penting dalam wacana karena pada hakikatnya teks dan konteks merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam sebuah wacana. Konteks inilah yang dapat membedakan wacana sebagai sebuah komunikasi. Dalam perspektif ilmu, semua teks Al-Qur'an sebagai sebuah teks yang koheren, sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, penafsiran terhadap ayat atau suatu teks Al-Qur'an yang benar harus dilakukan dengan menafsirkannya dengan ayat lain. Bahkan, dalam ilmu tafsir dikenal tafsir maudhu'i (tematik). Bahkan, yang dianggap sebagai satu kesatuan yang padu bukan hanya semua ayat Al-Qur'an, tetapi ayat Al-Qur'an dan Hadis, minimal dengan hadis mutawatir dan ahad yang sahih. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana dalam memahami atau menafsirkan ayat Al-Qur'an harus menyertakan Hadis, begitu juga sebaliknya.
Bahkan lebih jauh lagi, memahami teks Al-Qur'an dan Hadis juga harus mengetahui konteks sosial budaya politiknya yang dikenal dengan keharusan menguasai asbab an-nuzul dan asbab al-wurud. Ada banyak teori bahasa yang dikenal dalam ilmu linguistik modern. Di antaranya teori strukturalisme (binaiyyah) dari De Saussure yang menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik (ta'ashuriyyah), yaitu kajian atas bahasa sebagai tindak bahasa berdasarkan fenomena bahasa yang tampak, baik sebagai fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang terikat oleh ruang dan waktu. Bahasa tidak harus dilihat dalam hubungannya dengan fungsi pendidikan atau tujuan lain di luar dirinya. Teori De Saussure disebut teori deskriptif (washfiyyah) ingin membebaskan kajian bahasa dari lingkungan ilmu lain seperti psikologi, sejarah, filsafat, atau ilmu kebudayaan lain. Teori ini, terutama menolak teori historisitas bahasa yang mengkaji perubahan bahasa sepanjang masa, baik fonologi, morfologi, sintaksis, dan sistem sintaktikalnya, karena mengkaji bahasa dalam jangka waktu yang panjang (diakronik atau tarikhiyyah) dinilai sulit diukur.
Dalam teori strukturalisme De Saussure juga terdapat teori semiotika, penanda dan petanda. Bahasa menurutnya adalah penanda dari makna sebagai petanda yang ditandai. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan, dimana hubungan antar keduanya adalah arbitrer, tergantung pada kesepakatan para pengguna bahasa sebagai penanda. Meski begitu, teori strukturalisme atau deskriptif De Saussure ditolak oleh teori yang lahir belakangan. Terutama, teori mentalistik atau transformatif Noam Chomsky yang memandang bahwa bahasa merefleksikan pikiran penutur. Bahasa tidak bisa berdiri sendiri sebagai satu bangunan yang independen dan koheren sendiri. Berbeda dengan teori deskriptif De Saussure, objek kajian bahasa, berdasarkan teori ini, adalah seputar pengetahuan para penggunanya dengan memahami bentuk kalimat yang lahir karena adanya kompetensi dan performance. Pandangan Chomsky tentang kompetensi dan performance bahwa bahasa manusia lebih banyak berasal dari faktor bawaan (bakat) ketimbang yang lain seperti struktur sosial lingkungannya. Bahasa seseorang ditentukan lebih banyak secara genetis.
Teori mentalistik Chomsky melanjutkan teori idealisme Plato pada masa Yunani kuno. Dalam teori ini, bahasa bersumber dan berhubungan dengan ide. Teori yang sebanding dengan teori Chomsky adalah teori semantik sintaktikal, teori wacana, dan teori kontekstual. Berbeda dengan teori semantik leksikal yang mengkaji bahasa berdasarkan fenomena leksem, semantik sintaktikal menekankan bahwa makna leksikal ditentukan kata atau kalimat sebelum dan sesudahnya. Teori ini menyarankan pengkajian bahasa dengan melihat konteks kata dan kalimat di sekitarnya. Secara konteks bahasa, makna sebuah bahasa harus dilihat dari sisi konteks leksikal, termasuk di dalamnya makna cita rasa, makna hubungan antar kata yang membuat kalimat dan hubungan antar kalimat, terutama dalam kalimat majemuk, dan hubungan antar paragraf. Dalam studi semantik, studi atas makna sebuah kata atau leksem disebut dengan jenis semantik leksikal. Studi atas perubahan makna sebuah kata karena penambahan imbuhan disebut dengan jenis semantik morfologikal.
Studi atas hubungan makna antar kata yang membuat kalimat dan hubungan antar kalimat, terutama dalam kalimat majemuk disebut jenis semantik sintaktikal. Dan studi hubungan antara pargaraf yang melahirkan wacana disebut jenis semantik wacana. Sedangkan studi makna atas penggunaan bahasa ujaran sesuai dengan konteks situasi saat bahasa itu diujarkan disebut jenis semantik pragmatik. Teori strukturalisme De Saussure yaitu (1) Melalui teori deskriptif ingin membebaskan kajian bahasa dari lingkungan ilmu lain di luar ilmu bahasa, berdasarkan fenomena fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. (2) Melalui teori sinkronik, De Saussure menyarankan kajian atas bahasa sebagai tindak bahasa yang terikat oleh ruang dan waktu tertentu. (3) Teori bahasa sebagai penanda dan gagasan sebagai petanda. Dalam tradisi Arab, kajian bahasa yang mainstream adalah kajian strukturalis De Saussure yang berbasis intralinguistik yang mandiri dari ilmu lain. Karena, bahasa pun dalam tradisi kelembagaan ilmiah lebih dipandang sebagai kajian mandiri dan koheren berdasarkan teori leksikografi dan semantik leksikal, terutama dalam kajian tafsir dan ushul fiqh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H