Mohon tunggu...
Putri Nabila N
Putri Nabila N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of the Indonesian Language and literature study program, Indonesian Educational Universities

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bayang Dendam di Kampus Digital

20 Desember 2024   11:56 Diperbarui: 20 Desember 2024   11:56 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bayang Dendam di Kampus Digital

Oleh : Putri Nabila Nurudin

Seorang pria berinisial MPA (24), mantan mahasiswa Universitas Andalas (Unand), ditangkap oleh Polresta Pekanbaru atas dugaan penyebaran video porno mantan pacarnya, KAA. Aksi ini dilakukan setelah hubungan asmara keduanya berakhir pada Maret 2023. Pelaku adalah MPA, sementara korbannya adalah KAA, mantan pacar yang melaporkan kasus ini ke polisi. Dalam investigasi, MPA diketahui menyebarkan konten menggunakan akun media sosial palsu. MPA ditangkap di rumahnya di Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Sumatera Barat. Kejadian penyebaran konten tersebut berlangsung setelah hubungan mereka berakhir, dengan laporan resmi diterima polisi beberapa waktu kemudian. Motif MPA adalah balas dendam setelah diputuskan oleh KAA. Tindakan ini tergolong kejahatan seksual berbasis digital yang berdampak serius pada korban. Unand menyatakan MPA sudah tidak aktif sebagai mahasiswa sejak semester ganjil dan genap 2022/2023, sesuai Peraturan Rektor Unand Nomor 7 Tahun 2022 Pasal 16 Ayat 3. Sekretaris Unand, Henmaidi, mengonfirmasi bahwa Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) tidak memiliki kewenangan menangani kasus ini karena MPA bukan lagi mahasiswa aktif. MPA ditahan dengan tuduhan melanggar Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 29 UU ITE, serta Pasal 14 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ancaman hukuman minimalnya adalah enam tahun penjara. Kasus ini menyoroti dampak serius revenge porn, baik secara hukum maupun sosial, serta pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual dalam berbagai lingkup.

Kasus yang melibatkan MPA, mantan mahasiswa Universitas Andalas, memiliki relevansi kuat dengan karya sastra film pendek bertema revenge porn di kampus. Kejadian ini menyoroti bagaimana kekerasan seksual berbasis digital, seperti revenge porn, seringkali muncul dari dinamika hubungan pribadi yang berakhir dengan konflik. Motif balas dendam yang dimiliki MPA dapat menjadi ilustrasi nyata untuk menggambarkan bagaimana tindakan semacam ini dilakukan dengan tujuan merusak reputasi dan mental korban. Film pendek dapat menggunakan elemen ini untuk menunjukkan dampak serius kejahatan tersebut, baik secara hukum maupun sosial, terutama pada korban yang sering kali menghadapi trauma psikologis mendalam.

Selain itu, berita ini mengangkat dilema institusional, seperti ketidakterlibatan Satgas PPKS Universitas Andalas karena pelaku bukan lagi mahasiswa aktif. Aspek ini dapat diadaptasi dalam narasi film untuk mengeksplorasi celah dalam sistem perlindungan kampus terhadap kasus kekerasan seksual. Dengan menggambarkan konsekuensi hukum yang dihadapi pelaku dan perjuangan korban mencari keadilan, film dapat memberikan pesan mendalam tentang pentingnya edukasi, regulasi yang lebih kuat, dan dukungan penuh bagi korban revenge porn di lingkungan kampus.

Analisis terhadap berita kasus MPA yang menyebarkan video intim mantan pacarnya dapat dikaji melalui teori feminisme digital dan teori struktural fungsionalisme. Dalam konteks feminisme digital, tindakan revenge porn seperti yang dilakukan MPA mencerminkan ketimpangan kekuasaan berbasis gender yang diperparah oleh teknologi. Konten yang disebarkan tidak hanya merendahkan korban sebagai individu, tetapi juga memperkuat stereotip gender yang membatasi perempuan. Film pendek bertema ini dapat menggunakan teori ini untuk menyoroti bagaimana teknologi digital sering menjadi alat untuk melanggengkan kekerasan berbasis gender, sekaligus menyerukan pentingnya kesetaraan dan perlindungan terhadap korban.

Dari perspektif teori struktural fungsionalisme, institusi kampus dan hukum memiliki fungsi utama dalam menjaga stabilitas sosial dan memberikan rasa aman. Namun, dalam kasus ini, ketidakterlibatan Satgas PPKS Universitas Andalas karena pelaku sudah bukan mahasiswa aktif menunjukkan adanya celah dalam sistem perlindungan. Hal ini mencerminkan ketidakseimbangan antara fungsi regulasi dan perlindungan yang seharusnya diberikan, terutama di lingkungan kampus. Film pendek dapat mengangkat isu ini untuk menggambarkan kebutuhan mendesak akan kebijakan dan langkah pencegahan yang komprehensif, baik bagi mahasiswa aktif maupun masyarakat di sekitarnya.

Selain itu, film dapat menggunakan elemen narasi yang terinspirasi dari teori dramaturgi oleh Erving Goffman untuk mengeksplorasi bagaimana individu mempresentasikan dirinya di ruang publik dan privat. Dalam kasus MPA, penyebaran konten intim melalui akun media sosial palsu mencerminkan upaya pelaku untuk menyembunyikan identitas sebenarnya, sambil tetap melakukan serangan terhadap korban. Film dapat memperlihatkan konflik ini sebagai cerminan dari bagaimana media digital menciptakan ruang baru untuk kekerasan yang sebelumnya sulit teridentifikasi. Dengan pendekatan ini, film tidak hanya menggambarkan realitas revenge porn, tetapi juga mengedukasi penonton tentang dampaknya yang kompleks terhadap individu dan masyarakat.

Kasus penyebaran revenge porn oleh MPA memberikan gambaran nyata tentang dampak serius kekerasan seksual berbasis digital, terutama dalam konteks lingkungan yang dekat dengan dunia pendidikan. Tindakan ini tidak hanya melukai korban secara psikologis dan sosial tetapi juga mencerminkan penggunaan teknologi sebagai alat untuk memperburuk ketimpangan gender dan kekuasaan. Celah dalam sistem perlindungan kampus, seperti ketidakmampuan Satgas PPKS menangani kasus ini karena status pelaku, menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih inklusif dan responsif dalam menghadapi kejahatan berbasis teknologi.

Melalui perspektif teoritis seperti feminisme digital, kasus ini menunjukkan bagaimana kekerasan berbasis gender dapat diperkuat oleh kemajuan teknologi, sementara teori struktural fungsionalisme menyoroti pentingnya peran institusi dalam menjaga tatanan sosial. Film pendek yang mengangkat tema ini dapat menjadi sarana edukasi yang kuat, tidak hanya untuk mengungkap kompleksitas revenge porn di kalangan mahasiswa tetapi juga untuk menyerukan pembaruan kebijakan dan peningkatan kesadaran masyarakat. Dengan pendekatan yang kritis dan berbasis bukti, film ini memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan sosial yang positif dan membangun lingkungan kampus yang lebih aman dan inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun