Mohon tunggu...
putri mutiara pertiwi
putri mutiara pertiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Administrasi Publik

set yourself free

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Efektivitas RUU KPK Menurut Pendekatan Maier

12 Juni 2022   12:50 Diperbarui: 17 Juni 2022   09:32 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Dermawan (2004), menyebutkan bahwa pengambilan keputusan adalah ilmu dan seni pemilihan alternatif solusi atau alternatif tindakan dari sejumlah alternatif solusi dan tindakan yang tersedia guna menyelesaikan masalah. Selain itu, pengambilan keputusan juga diartikan bahwa seseorang atau sekelompok yang berwenang untuk membuat pilihan akhir atau keputusan memilih satu diantara beberapa alternatif solusi terhadap masalah atau pencapaian tujuan.

Efektivitas pengambilan keputusan dapat dilihat dengan dua hal yaitu kualitas keputusan dan penerimaan. Kualitas pengambilan keputusan dilihat dari hal-hal yang bersifat teknis dan rasional seperti kesesuaian dengan pokok permasalahan yang hendak diselesaikan, kesesuaian dengan tujuan pengambilan keputusan, dan prosedur pengambilan keputusan. Kualitas pengambilan keputusan memiliki ciri yang bersifat obyektif yang dapat diukur melalui standard teknis. Aspek penerimaan, sebaliknya, ditunjukkan dengan ada tidaknya dukungan dan kepatuhan terhadap keputusan yang diambil, Artinya pengambilan keputusan yang diterima sudah barang tentu akan dipatuhi oleh pelaksana keputusan. Penerimaan cenderung bersifat subyektif penilaiannya, lebih emosional dan bergantung dari masing-masing subyek. Secara matematis, Maier merumuskan efektivitas pengambilan keputusan sebagai hasil perkalian antara kualitas dan penerimaan.

Proses pengambilan keputusan yang tidak baik tentunya akan menciptakan penerimaan yang buruk dari masyarakat. Contohnya seperti Revisi UU KPK yang disahkan menjadi undang-undang dalm Rapat Paripurna ke-9 DPR pada 17 September 2019. Dilansir dari Kompas.com, wakil ketua KPK Laode M Syarif mengaku heran mengenai pembahasan RUU KPK yang berlangsung diam-diam. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan pemerintah dan DPR tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat. Ia menuding revisi UU KPK sebagai upaya pelemahan KPK yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Berikut beberapa poin yang dianggap melemahkan KPK dalam RUU KPK:

  1. Status kedudukan KPK bukan lagi Lembaga Negara Independen. Berdasarkan Pasal 3 RUU KPK, KPK adalah lembaga negara rumpun eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun.
  2. Pembentukan Dewan Pengawas KPK yang diatur dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G.
  3. Berdasarkan pasal 12B, proses penyadapan harus mendapat izin dari Dewan Pengawas. Hal ini membuat KPK tidak lagi bebas melakukan penyadapan terhadap tindak pidana korupsi.
  4.  Penghentian penyidikan (SP3). Pada Pasal 40 ayat (1) dikatakan bahwa: Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. 

Disahkannya RUU KPK tersebut, menyebabkan pro dan kontra diantara masyarakat Indonesia. Kelompok yang tidak puas dengan keputusan ini, mengambil tindakan untuk menentang melalui aksi demonstrasi yang dipimpin oleh Mahasiswa.

Pengambilan keputusan menurut maier dikelompokkan menjadi 3 tipe. Salah satu tipenya yaitu Pengambilan Keputusan yang efektif Q/A. Efektivitas pengambilan keputusan dicapai dengan kualitas pengambilan keputusan yang tinggi dan penerimaan yang rendah. Jadi, jika masalah yang dihadapi berada dalam situasi dan kondisi yang menuntut untuk lebih mementingkan kualitas keputusan yang tinggi daripada penerimaan.  Menurut pandangan pemerintah, tentunya RUU KPK ini memiliki kualitas pengambilan keputusan yang tinggi. Namun pada kenyataannya, RUU KPK ini mendapatkan banyak respon buruk (kontra) dari masyarakat dibandingkan dengan yang pro. Merujuk pada pendekatan Maier, dapat disimpulkan bahwa RUU KPK belum efektif karena penerimaan yang didapat masih tergolong rendah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun