Sesampainya disana, terlihat putri kecilnya yang baru berusia 3 tahun dan anak sulungnya yang berusia 6 tahun. Tidak terlihat keberadaan istri yang paling dia cintai, ternyata istrinya pingsan melihat jenazah Warso.
"Malang nian nasibku sejak muda aku berkerja keras untuk menghidupi keluargaku, tapi aku malah berakhir di sini. Aku juga sudah berjanji untuk menebus mas kawin istriku yang di gadaikan. Kini jangankan menebus, berpamitanpun aku tak sanggup. Aku menyesal tidak pernah mengatakan cinta pada istri dan anaku. Aku menyesal terlalu sibuk dan lelah bekerja sampai lupa mengahabiskan waktu bersama mereka. Aku ingin memeluk putriku, aku rindu teriakan putra sulungku, aku rindu aroma tubuh istrik. Tuhan mengapa...mengapa nasib ini terjadi padaku. Siapa yang menghidupi mereka setelah ini. Malang sekali nasib putriku yang tak sempat mengenal ayahnya".
Pelayat datang silih berganti, bahkan beberapa pelayat adalah orang yang tidak dikenal oleh Warso. Selama hidup Warso jarang membuat ulah, sehingga banyak orang berduka atas kepergianya. Saat tuuh Warso hendak diangkat dibawa kepemakaman. Terlihat seorang pria dengan menggunakan seragam PNS. Tenyata dia membawa sejumlah uang duka dan memberikan tabungan pendidikan kedua anaknya. Mereka akan disekolahkan oleh Negara sampai lulus kuliah, sedangkan uang duka bisa digunakan istrinya untuk membuka warung depan rumah.
"Tuhan inikah rencanmu, kau ambil nyawaku karena ingin aku beristirahat dari kerasnya dunia. KAU ambil nyawaku agar membuka mata kepedulian orang lain terhadap keluargaku?. Belum tentun jika aku masih hidup mereka akan mendapat kehidupan yangn lebih baik. SELAMAT TINGAL SAYANGKU...AKU MENUNGGUMU DI KEABADIAN".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H