Jika kita membahas 'Fase Positivisme' tentunya kita harus mengenal siapa pencetus fase tersebut.
ia adalah Augustuste Comte, atau " Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte" nama lengkapnya. (1798-1857), merupakan pendiri aliran filsafat positivisme dan “Bapak Sosiologi”, telah menampilkan ajarannya yang sangat terkenal, yaitu apa yang disebut hukum tiga tahap (law of three stages).
Melalui hukum inilah ia menyatakan bahwa sejarah umat manusia, baik secara individual, maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga tahap, yaitu:
1. Tahap teologi (fiktif)
2. Tahap metafisik (abstrak)
3. Tahap positif (ilmiah/riel). Secara eksplisit pula ia menekankan bahwa istilah “positif” merupakan suatu istilah yang ia jadikan nama bagi aliran filsafat yang dibentuknya sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.
Dimana aliran positivisme pada abad 19 kala itu,aliran tersebut hendak mengubur bidang-bidang spekulatif metafisik, seperti metaifisk dan teologi. Dimana pada aliran positivisme sangat mengagungkan metode induktif eksperimental, yakni menarik kebenaran ilmiah berdasarkan atas data percobaan yang berupa fakta partikular menuju kesimpulan universal.
Konsekuensi dari fase 'positif' adalah keharusan manusia untuk meninggalkan fase sebelumnya, yaitu fase teologi dan metafisik. Dimana dua fase tersebut dianggap akan berlalu dengan sendirinya setelah manusia akrab dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Prediksi Auguste Comte memang ada benarnya.Pada abad ke 21, setelah ia mengatakan hal tersebut dalam artikel berjudul ”The Course in Positive Philosophy”, dunia memang sedang mengalami kemajuan yang menakjubkan dalam hal ilmu pengetahuan. Kemajuan tersebut ditunjukkan salah satunya melalui perkembangan teknologi.
Lalu apakah perkembangan teknologi sebagai bentuk aplikasi dari fase positif, ternyata benar-benar membuat manusia meninggalkan fase teologi dan metafisik? Poin ini tentu saja dapat kita perdebatkan.
Pada perkembangan teknologi, menciptakan sebuah kekosongan batin yang membuat manusia merasa perlu untuk mencari pijakan baru, yang tetap bernuansa spiritual. Artinya, ramalan Comte tentang habisnya fase teologi dan metafisik tidak terbukti menyeluruh. Pada fase Teologi dan metafisik, dimana manusia mempercayai adanya ruh, jiwa dan akal.
Nyatanya, kita dapat melihat di sekeliling bahwa kepercayaan terhadap hal-hal suprarasional tidak serta-merta mengalami penurunan. "Agama dan kepercayaan tertentu masih dianut dan bahkan tidak terlihat bertentangan dengan perkembangan teknologi".
Contohnya : Kepercayaan Gaib dan Kejawen pada masyarakat pesisir Kabupaten Rembang masih percaya terhadap makhluk gaib yang memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal tertentu yang sebenamya tidak dapat diterima oleh akal sehat kita sebagai manusia.
Selain itu, mereka juga percaya terhadap kebudayaan Jawa yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme sehingga agama yang mereka anut bercorak Kejawen atau disebut Agami Jawi yang masih percaya dengan adanya roh-roh halus atau makhluk gaib, yang masih terlihat jelas di dalam perkembangan teknologi (sains).
Pada pembahasannya,Secara historis penolakan terhadap konsep ketuhanan mulai gencar pada abad ke-18 saat sains mulai melemahkan intuitif agama yang ditandai dengan mencuatnya isu positivisme.
Paham positivistik memerlukan pembuktianpembuktian rasional yang memungkinkan masyarakat berfikir secara logis tanpa disertai dengan penerapan intuisi agama yang pada akhirnya agama mulai dijauhi oleh masyarakat pada saat itu, yang dalam hal ini digawangi oleh seorang Geolog bernama Charles Lyell (1797-1875) yang secara eksplisit menyatakan penolakannya terhadap alkitab.
Di Indonesia, semangat ploretariat juga mulai didengungkan, Tan Malaka seorang pimpinan partai komunis juga beberapa kali menyuarakan penolakan terhadap proyeksi mistis, dalam karyanya yang terkenal yakni "Madilog", ia memunculkan formulasi tentang penolakan terhadap intuitif agama yang secara tidak langsung mengarah kepada sikap ateisme.
Dan di tahun 2008 munculah suatu gerakan yang mengatas namakan dirinya sebagai "Indonesian Atheist" dengan terang-terangan menyuarakan pendapatnya tentang Ateisme.
Pada perjalanannya, Indonesian Atheist (IA) menolak Undang-Undang yang telah final, serta berkali-kali menimbulkan perdebatan tentang konsepsi Tuhan. 'IA' menjadi babak baru Pergerakan penolak konsep Tuhan pada abad ke-21 di Indonesia. Dimana 'Indonesian Atheist' mulai bergerak melalui sarana-sarana digital, yang kemudian berevolusi ke dunia nyata dan terjun langsung ke dalam lingkungan sosia-masyarakat Indonesia.
Contoh lain masih adanya fase metafisik di masyarakat sekarang ini adalah "masyarakat masih memkanai bencana alam sebagai hukuman tuhan". atau yang dimaksud dengan mitologisasi bencana, dan religiusitas yang melibatkan Tuhan dalam setiap bencana yang melanda. Mitologisasi bencana merupakan sebuah pandangan yang mengalihkan kenyataan bencana menjadi kenyataan lain pada sebuah realitas bencana yang dihadapi.
Seperti gempa bumi yang dikatakan sebagai terbangunnya makhluk raksasa di dalam perut bumi juga merupakan contoh mitologisasi bencana. Dimana Realitas bencana merupakan momen tegangan, juga sebagai krisis yang muncul dari hubungan manusia dengan sesamanya serta alam dan lingkungan, karena bencana berawal dan berujung pada manusia, alam dan lingkungan.
Padahal Jika kita menarik garis pada perkembangan Ilmu pengetahuan/ IPTEK, segala sesuatu bentuk bencana Alam dapat di kaji secara Ilmiah dengan hipotesis dari latar belakang yang mendasar secara spesifik terhadap bencana alam yang terjadi, apalagi perkembangan teknologi sudah semakin canggih tentunya 'asumsi' seperti contoh kasus diatas tidak relevan dan artinya, perkembangan teknologi tidak membuat manusia meninggalkan fase Metafisik.
Dengan demikian, terhadap perkembangan teknologi sebagai bentuk aplikasi dari fase 'positif', yang dimana pada kenyataannya, tidak membuat manusia meninggalkan fase teologi dan metafisik. dimana manusia cenderung masih mengomunikasikan informasi kejalan pikiran mereka tanpa diimbangi dengan proses penalaran yang sistematis dan konkrit dalam menyimpulkan sesuatu yang seharusnya dapat berpangku pada Ilmu pengetahuan (knowledge).
Di samping dari itu, Pada masa ini fase 'positif' Perkembangan Teknologi dan IPTEK telah berkembang cukup pesat. dimana manusia berhasil memformulasikan sesuatu barang atau mengerjakan sesuatu dari hasil campur tangan (sentuhan) manusia itu sendiri, dengan seni pengolahan akal budi pekerti manusia yang secara tekun mengembangkan dan membuat suatu benda bagi kepentingan rohani dan jasmani nya.
Yang membuat saya kagum ialah terhadap cipta dan karya individu dan masyarakat pada teknologi, dimana sentuhan-sentuhan estetika dalam menciptakan suatu karya dan benda teknologi tidak hanya menjadi sebagai alat saja tapi juga bernilai indah. contohnya : Pesawat terbang sebagai karya teknologi yang tidak hanya dikembangkan dari sisi komponen mesin, dan ketahanannya. tetapi pada interior, bodi bangunan, design, warna dan sebagainya. contoh tersebut merupakan bukti nyata hasil Sentuhan tangan manusia dalam mengekspresikan karyanya yang selaras dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Sumber Referensi :
Hasanah. Ulfatun. (2019). Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) Terhadap
Dasar Pengembangan Ilmu Dakwah. Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam. 2(2). 70-80.
Hasbiansyah. O. Menimbang Postivisme. Hal 123-133.
Safitrf. Ikha. (2013). Kepercayaan Gaib Dan Kejawen Studi Kasus pada
Masyarakat Pesisir Kabupaten Rembang. Sabda. vol 8. 18-28.
Sabir. Ahmad, Phil. M. (2016). Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Di Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi Dan Sosial. 5(3). 304-326.
Burhanuddin, Muhammad, Drs. Arief Wibowo, M.Ag and , Drs. M. Darojat Ariyanto, M.Ag (2014) Sejarah Dan Perkembangan Komunitas Indonesian Atheist Tahun 2008-2013 (Studi Kasus Keberadaan Komunitas Ateis pada Media Internet). Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses dari http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/30879 Pada Pukul 00:50 WIB.
Herimanto, Winarno. (2016). Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Edisi 1,Cet. 10. Jakarta: Bumi Aksara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H