Perkembangan jaman semakin maju pesat, era globalisasi telah menghapuskan batas antar negara di dunia, yang mengakibatkan masuknya berbagai kebudayaan dari negara lain. Masuknya berbagai kebudayaan tersebut mengakibatkan semakin memudarnya kebudayaan daerah yang sudah ada sejak dahulu kala.
Di D.I Yogyakarta sendiri dapat terlihat pada perubahan makna upacara adat Garebeg dan Sekaten yang semakin terdegradasi maknanya. Dari upacara adat untuk memperingati hari-hari besar dalam agama Islam khususnya maulid Nabi Muhammad SAW, menjadi upacara adat Kejawen yang sarat dengan nuansa mistik, seperti anggapan bahwa gamelan yang ada di masjid Agung, ditabuh untuk memanggil arwah leluhur, padahal gamelan di sini ditabuh guna menarik perhatian warga masyarakat untuk datang ke masjid Agung untuk mendengarkan ajaran-ajaran islam dari Walisonggo.
Sekaten berasal dari bahasa arab yaitu “Sahadatain” yang artinya kalimat sahadat. Ada juga pendapat bahwa Sekaten berasal dari kata “Sekati” yaitu barang yang digunakan untuk menimbang yang bisa untuk digunakan menyerasikan, menyelaraskan, menyeimbangkan, dan mengharmonisasikan.Namun ada pula pendapat bahwa Sekaten berasal dari kata “Sekati” yaitu dua buah perangkat gamelan pusaka kraton, Kanjeng Kyai Sekati (Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilanga).
Pada hakekatnya Sekaten adalah suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala, yang sampai sekarang sudah berubah-ubah bentuk dan sifatnya.Pada mulanya, upacara itu diselengarakan tiap tahun oleh Raja-raja di tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur (Dodenoffer).Dengan masuknya agama dan pengaruh Hindu ke Jawa, praktis membuat rakyat Jawa yang semula masih menganut animisme dan dinamisme memeluk agama Hindu. serta menjalankan segala adat dan aturan di dalamnya.
Pada jaman pemerintahan Sang Prabu Brawijaya V, yang biasa disebut jaman Majapahit terakhir, upacara sesaji tahunan tersebut ditambah dengan keramaian yang agak besar dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima salah satu benda keramat milik kerajaan Majapahit,yang menjadikan semarak keramaian tersebut berubah menjadi pesta rakyat, karena rakyat sangat terhibur dengan alunan lagu yang dialunkan gamelan pada acara tersebut.
Namun, salah satu putra Sang Prabu Brawijaya V, yang bernama Raden Patah, pergi dari Majapahit, menjadi Adipati di Demak Bintara, dan memeluk agama Islam. Hati Sang Prabu Brawijaya V, bertambah sedih manakala anaknya yaitu, Raden Patah, mengancam akan menyerang Majapahit jika Sang Prabu Brawijaya V tidak mau memeluk agama Islam.
Sementara Sang Prabu Brawijaya sedang dilanda kegelisahan, Sultan Syah Alam Akbar atau Sultan Ngabdil Suryongalam atau Raden Patah dibantu oleh Wali Songo sedang gencar-gencarnya menyebarkan agama Islam ke pada rakyat Jawa. Raden Patah selaku Sultan pertama di kerajaan Demak, memerintahkan untuk menghapus segala upacara adat yang masih berbau agama Hindu yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.Namun, justru rakyat semakin sulit untuk diajak memeluk agama Islam,karena agama Hindu di Jawa sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari.Atas saran Wali Songo adat itu di hidupkan lagi namun diberi nafas ke Islaman dalam setiap pengadaannya.
Atas usul Sunan Kalijaga, diubahlah perayaan itu, menjadi perayaan yang digunakan untuk memperingati maulid Nabi Muhammad dengan membunyikan gamelan.Karena Sunan Kalijaga tahu bahwa rakyat menyukai perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan upacara-upacara keagamaan.Lalu disusunlah seprangkat gamelan di halaman Masjid Besar, dan gamelan dibunyikan untuk menarik perhatian masyarakat untuk masuk kedalam masjid dan mendengarkan dakwah dari para wali.
Perayaan itu (Sekaten) diadakan satu minggu lamanya, dan dalam perayaannya banyak rakyat yang sukarela untuk memasuki Islam.Dan untuk menarik simpati rakyat, bertepatan dengan 12 Rabiulawal, Sultan menyempatkan waktu, untuk keluar bersama para putra dan segenap pengiringnya untuk ikut dalam upacara ke agamaan tersebut.
Sekaten terus dilaksanakan oleh para Raja-raja Jawa yang memerintah di Pajang, Mataram, dan Kartasura. Sekaten di Yogyakarta sudahdilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I, tanpa ada yang dihilangkan dari tatacara pengadaannnya. Dan terus-menerus Sekaten dilestarikan oleh Raja-raja Kasultanan Yogyakarta untuk menyebarluaskan agama Islam, sesuai dengan gelar yang mereka gunakan yaitu Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah,yang menggambarkan bahwa Raja-raja Mataram Islam khususnya Raja-raja di Kasultanan Yogyakarta mempunyai tugas untuk mengayomi Agama Islam untuk rakyatnya.
Dalam pelaksanaan perayaannya, Sekaten mengalami perubahan demi perubahan. Diantaranya perubahan besar terjadi saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana IX, yaituuntuk menambah antusias rakyat, dalam setiap perayaan Sekaten, diadakan pula pesta rakyat di alun-alun kerajaan berupa pasar malam sebulan lamanya.
Namun karena perkembangan jaman yang semakin maju, Sekaten mulai kehilangan nilai dan makna dari perayaannya, juga lebih menonjolkan fungsi baru yaitu sisi komersil, ekonomi, dan hiburan.Tidak lagi bertujuan sebagai media untuk pembelajaran agama Islam seperti dahulu.Makna Sekaten kini bergeser, dari perayaan Msaulid Nabi Muhammad untuk memperdalam agama Islam, menjadi perayaan pesta rakyat dengan fungsi ekonomi lebih menonjol dari pada sisi agamisnya.Maka dari itu, Sekaten perlu dipelajari dan dimaknai lebih mendalam, agar tetap kokoh menerjang laju perkembangan jaman. Karena Sekaten merupakan kebudayaan yang bersejarah panjang dan warisan dari Raja-raja Mataram Islam, serta Sekaten pulalah tanda bahwa Yogyakarta adalah kota Istimewa, dengan kraton Kasultanan Yogyakarta dan Sri Sultan yang masih berdiri kokoh sampai saat ini. Jangan sampai Sekaten hilang, dan akhirnya ke Istimewaan Yogyakarta turut hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H