“Mak…,” seruku pelan sambil menyenggol tangan emak yang kurangkul.
Emak menoleh padaku, tersenyum. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung tanganku, seolah ingin berkata: sudahlah, Nduk.
Aku cemberut. Wajah emak tetap tenang. Senyum tetap tersungging, namun tatap mata emak tak bisa menipuku.
“Sundal!” umpatku pelan.
“Sri... Jaga kata-katamu, Nduk!” pekik emak setengah berbisik, seolah hanya aku yang boleh mendengarnya. Matanya menatap kaget padaku.
“Maaf, Mak…,” aku menunduk, takut menatap mata emak.
---
Aku masih ingat, ketika bapak pulang menggendong seorang anak perempuan berumur sekitar enam tahun, sambil menggandeng seorang perempuan muda bergincu merah. Padaku dan emak, bapak mengenalkan perempuan itu sebagai istri mudanya. Bapak menjelaskan bahwa sudah setahun yang lalu bapak menikah siri dengan janda muda beranak satu itu.
Waktu itu emak hanya terdiam, patuh mendengarkan perintah bapak, bahwa emak harus bersikap baik terhadap istri mudanya. Air mata emak baru kulihat ketika emak kembali ke dapur untuk menyiapkan teh untuk mereka.
Sejak saat itu, semua perhatian bapak pun hanya tercurah untuk perempuan itu dan anaknya. Emak tak ubah seperti pembantu bagi bapak dan istri barunya, dan aku seperti tak lagi ada.
Kelakuan perempuan itu semakin menjadi-jadi ketika bapak menyampaikan kepada kami bahwa bapak akan menikahi perempuan itu secara resmi.
Emak masih tetap menurut dan menerima. Aku tak habis pikir.