Latar BelakangÂ
Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia telah mengenal metode pembayaran cashless terutama ketika wabah COVID-19 tengah melanda. Di Indonesia dikenal dengan QRIS (quick response code Indonesian standard). Perkembangan QRIS di Indonesia tidak terjadi begitu saja. Pada awalnya, di Indonesia terdapat berbagai macam sistem pembayaran elektronik atau e-wallet yang beroperasi secara terpisah .Sebelum QRIS diterapkan, berbagai platform pembayaran di Indonesia menggunakan QR Code yang berbeda-beda untuk transaksi non-tunai, terutama melalui dompet digital atau layanan fintech (seperti OVO, GoPay, LinkAja, dll.).Â
Hal ini menyulitkan pengguna karena setiap pedagang atau merchant perlu memiliki beberapa QR Code tergantung penyedia layanan yang digunakan konsumen. Untuk mengatasi permasalahan ini, Bank Indonesia (BI) akhirnya mengembangkan sebuah standar nasional yang mengintegrasikan semua QR code ke dalam sistem tunggal, yang kemudian dikenal sebagai QRIS. Tujuan dari hadirnya QRIS adalah menciptakan sistem pembayaran yang lebih efisien dan mudah untuk digunakan oleh semua orang. Tak hanya untuk mempermudah transaksi, metode pembayaran QRIS ini semakin populer sejak pandemi melanda. Pembayaran QRIS yang hanya perlu menggunakan HP tanpa perlu melakukan kontak fisik menjadi salah satu cara untuk mengurangi penyebaran virus corona.
Sejarah QRIS
QRIS secara resmi diluncurkan pada tanggal 17 Agustus 2019, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, sebagai simbol inovasi nasional dalam mendukung transformasi digital di sektor keuangan. Dengan QRIS, semua transaksi berbasis QR Code dari berbagai penyedia jasa pembayaran dapat diakses melalui satu standar yang sama, sehingga merchant hanya membutuhkan satu QR Code untuk semua aplikasi. Pengembangan QRIS ini mengadopsi standar internasional EMVCo, yang memastikan bahwa QRIS sesuai dengan standar global dalam hal interoperabilitas dan keamanan.
Setelah diluncurkan, Bank Indonesia memberlakukan aturan wajib penggunaan QRIS mulai 1 Januari 2020. Pada tanggal tersebut, semua penyedia jasa pembayaran yang menggunakan metode pembayaran berbasis QR Code diwajibkan untuk mengintegrasikan sistem mereka dengan QRIS. Penerapan QRIS dilakukan secara bertahap, dimulai dari merchant besar hingga para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tujuan utama dari penerapan QRIS ini tidak hanya untuk menyederhanakan sistem pembayaran, tetapi juga untuk memperluas inklusi keuangan di Indonesia, terutama bagi UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Dengan QRIS, UMKM yang sebelumnya mungkin sulit mengakses teknologi pembayaran digital kini dapat dengan mudah terhubung dengan sistem keuangan digital.
Dampak QRIS Terhadap Uang Tunai di Era Fintech Masa Kini
Penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) telah membawa dampak yang signifikan terhadap pengurangan penggunaan uang tunai di Indonesia, khususnya di era pertumbuhan pesat teknologi finansial (fintech). QRIS, yang dikembangkan oleh Bank Indonesia dan diluncurkan pada 2019, bertujuan untuk menyatukan berbagai sistem pembayaran berbasis QR Code yang sebelumnya terfragmentasi. Dengan mengadopsi QRIS, merchant hanya membutuhkan satu QR Code untuk menerima pembayaran dari berbagai aplikasi dompet digital seperti GoPay, OVO, dan LinkAja. Hal ini tidak hanya memudahkan konsumen yang semakin terbiasa dengan transaksi non-tunai, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada uang tunai dalam berbagai sektor ekonomi.
Perkembangan fintech yang semakin canggih mempercepat adopsi QRIS, yang secara langsung berdampak pada meningkatnya penggunaan transaksi digital dibandingkan dengan uang tunai. QRIS sangat efektif dalam mendukung pelaku UMKM, yang kini dapat menerima pembayaran digital tanpa harus berinvestasi pada perangkat pembayaran yang mahal, seperti mesin EDC. Hal ini membuat UMKM lebih efisien dan meningkatkan daya saing mereka di pasar digital. Selain itu, QRIS membantu merampingkan biaya operasional dan mempercepat proses transaksi, yang berkontribusi pada peningkatan omset dan kepuasan pelanggan.Â
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital, QRIS juga berperan penting dalam meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Penggunaannya memungkinkan masyarakat, termasuk yang sebelumnya belum terjangkau oleh layanan perbankan, untuk ikut serta dalam sistem keuangan formal. Data menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir, transaksi menggunakan QRIS meningkat hingga lebih dari 200%, memperlihatkan pergeseran signifikan dari penggunaan uang tunai ke transaksi digital. Hal ini menjadi bukti bahwa QRIS menjadi katalisator penting dalam mendukung transformasi digital di Indonesia.
Analisis Studi Kasus Terhadap Coffee Shop Yang Tidak Menerima Uang Tunai Sebagai Alat Pembayaran.Â
Uang tunai adalah alat pembayaran yang sah mata uang atau koin  yang dapat digunakan untuk menukar barang, utang, atau jasa. namun ada kasus yang sedang ramai di berita yaitu coffe shop yang tidak menerima uang tunai sebagai alat pembayaran di coffe shop tersebut. Analisis terhadap fenomena ini dapat dilihat dari beberapa perspektif, baik dari segi pelanggan, pemilik usaha, maupun regulasi pemerintah.
Viralnya berita tentang sebuah coffee shop yang menolak pembayaran tunai memicu beragam reaksi di masyarakat, khususnya terkait implikasi sosial dan ekonomi dari kebijakan tersebut. Dari sudut pandang pelanggan, langkah ini dapat dipandang sebagai inovasi yang sejalan dengan tren digitalisasi saat ini. Pembayaran non-tunai, baik melalui QRIS maupun aplikasi dompet digital, menawarkan kemudahan, kecepatan, dan keamanan yang lebih tinggi dibandingkan uang tunai. Terlebih lagi, dalam konteks pandemi, metode pembayaran digital dianggap lebih higienis karena mengurangi kontak fisik. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga dapat menimbulkan ketidakpuasan dari pelanggan yang lebih memilih menggunakan uang tunai. Kelompok masyarakat tertentu, seperti lansia atau mereka yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan digital, mungkin merasa terpinggirkan dan diabaikan, sehingga menciptakan potensi diskriminasi terhadap mereka yang belum beralih ke teknologi pembayaran modern.
Dari perspektif pemilik usaha, keputusan untuk hanya menerima pembayaran digital dapat dilihat sebagai strategi untuk meningkatkan efisiensi operasional. Dengan berfokus pada transaksi non-tunai, coffee shop dapat mempercepat proses pembayaran dan mengurangi resiko pencurian atau kesalahan dalam pengelolaan uang tunai. Selain itu, pembayaran digital memudahkan pencatatan transaksi dan manajemen inventaris. Namun, pemilik usaha juga harus mempertimbangkan dampak terhadap loyalitas pelanggan. Meskipun banyak konsumen yang mengadopsi pembayaran digital, sebagian pelanggan masih menggunakan uang tunai untuk berbagai transaksi sehari-hari. Jika coffee shop tersebut tidak mempertimbangkan kebutuhan pelanggan yang lebih konservatif, mereka mungkin kehilangan segmen pasar yang memilih untuk beralih ke kompetitor yang lebih fleksibel.
Dari sisi regulasi, Bank Indonesia menetapkan bahwa rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia, termasuk dalam bentuk uang tunai. Kebijakan coffee shop yang menolak pembayaran tunai bisa menjadi masalah, karena secara hukum, semua bisnis diharapkan menerima rupiah dalam bentuk fisik. Di sisi lain, pemerintah juga mendorong transformasi digital dan peningkatan inklusi keuangan melalui sistem seperti QRIS. Oleh karena itu, terdapat tantangan untuk menemukan keseimbangan antara regulasi yang ada dan inovasi yang diterapkan oleh bisnis modern.
Secara keseluruhan, fenomena coffee shop yang tidak menerima uang tunai menunjukkan pergeseran menuju ekonomi digital, tetapi juga menimbulkan diskusi penting tentang inklusivitas dan aksesibilitas layanan keuangan. Meskipun kebijakan ini dapat meningkatkan efisiensi, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap pelanggan yang belum siap beralih sepenuhnya ke sistem non-tunai, sehingga semua lapisan masyarakat tetap terlayani dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H