Mohon tunggu...
Putri Fadhilah Helmi
Putri Fadhilah Helmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik - Universitas Sains Al-Qur'an Jawa Tengah di Wonosobo

Mahasiswa Semester 5 Program Studi Ilmu Politik Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik Universitas Sains Al-Qur'an Jawa Tengah di Wonosobo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mufakat G20: Politik-Ekonomi Global atas Krisis Iklim

10 Januari 2023   12:34 Diperbarui: 15 Januari 2023   21:08 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 15-16 November 2022 menemukan beberapa kesepakatan penting yang terangkum di dalam Bali Leaders Declaration 2022 yang memuat 52 poin untuk dijalankan oleh negara-negara yang berada di dalamnya. Salah satu poin yang ada di dalam deklarasi tersebut adalah mengenai transisi energi bersih untuk menjawab krisis iklim (Climate Change) yang melanda seluruh belahan bumi hari ini. Namun, apakah hasil dari KTT G20 memang menjadi solusi bagi persoalan krisis iklim yang melanda seluruh dunia?

Perlu diketahui, bahwa negara-negara yang ada di dalam G20 merupakan penyumbang 80% dari emisi global. Isu mengenai krisis iklim yang melanda bumi juga sebenarnya telah bergulir sejak bertahun-tahun yang lalu. Sehingga Indonesia yang menjadi presidensi G20 menetapkan isu mengenai transisi energi terbarukan menjadi isu prioritas yang berkelanjutan. Dari fakta tersebut jelas menjadi keharusan bagi negara-negara yang tergabung di dalam G20 Grup harus menjadi promotor transisi energi dan secara kolektif harus bertanggung jawab atas 80% emisi global.

Pada KTT G20 Roma pada tahun 2021, para pemimpin negara yang terlibat pertama kali menyepakati perlunya tindakan mendesak dan efektif untuk mengurangi pemanasan global. Namun sayangnya deklarasi tersebut hanya memberikan solusi palsu serta tidak memberikan komitmen yang berarti.

Pendanaan iklim dari negara maju sebesar USD 100 miliar per tahun bagi negara-negara berkembang juga terhenti. Bahkan COP26 di Glasgow menyatakan bahwa pendanaan tahun 2020 terlewati.

Di dalam isu soal krisis iklim ini pemerintah Indonesia mencoba menjembatani antara kepentingan negara maju dan negara berkembang untuk mempercepat transisi energi dari energi fosil ke arah energi bersih terbarukan (EBT) serta memperkuat sistem energi global secara berkelanjutan.

Kesepakatan mengenai percepatan transisi energi G20 dengan menggunakan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) berhasil mengantongi dana sebesar USD 20 miliar atau setara dengan sekitar 310 triliun sebagai bentuk komitmen untuk Indonesia dalam mengurangi emisi global. Anggaran yang didapatkan tersebut dikelola oleh pemerintah melalui PT SMI yang ditunjuk oleh mentri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Di dalam roadmap yang terdapat pada dokumen Bali Compact G20 disebutkan bahwa prioritas utama dalam percepatan transisi energi adalah tiga hal, yakni: Aksesibilitas energi untuk semua orang, inovasi teknologi dan pendanaan. Namun, meskipun dokumen tersebut terlihat sangat ideal, sebenarnya dokumen tersebut adalah proposal teknokrasi yang bersifat formal dan normatif. Hal itu dikarenakan dalam pertemuan yang membahas mengenai transisi energi dan krisis iklim antara kementrian keuangan dan gubernur bank sentral, kelompok G20 tidak melahirkan konsensus bersama sebagai bentuk komitmen dan keseriusan negara-negara G20 dalam menyikapi terjadinya krisis iklim.

Sudah kita ketahui bersama bahwa hari ini energi menjadi instrument geopolitik di tengah perang Rusia-Ukraina. Perang tersebut berdampak pada kebijakan Rusia mengenai ekspor dan harga jual gas ke negara-negara eropa yang memang sangat bergantung pada gas Rusia. Dalan hal tersebut, negara-negara eropa membutuhkan pasar investasi dari negara-negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap gas Rusia. Sedangkan Indonesia, dalam hal ini mencoba menarik investasi luar negeri dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan dengan kepentingan energi.

Namun, yang menjadi persoalan lain juga adalah mengenai teknis pemerintah dalam melaksanakan progam transisi energi bersih apakah melibatkan publik dan berprinsip keadilan energi atau tidak. Kita semua sudah tahu, beberapa energi terbarukan yang hari ini sedang digarap oleh pemerintah adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) atau geothermal energy.

Pada persoalan di atas, pemerintah Indonesia alih-alih menjawab krisis iklim justru mengembangkan aksi-aksi yang kembali memberikan ruang pada korporasi. Strategi transisi energi yang menjadi salah satu fokus pemerintah Indonesia, nyatanya belum menjawab persoalan mendasar yang dihadapi akibat krisis iklim.

Transisi energi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi /Geothermal atau pun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), justru menambah persoalan baru. Proyek-proyek atas nama perubahan iklim mengakibatkan perubahan bentang alam, penghancuran lingkungan, perampasan wilayah kelola rakyat dan ruang hidup rakyat, penggusuran, dan bencana ekologis. Pemerintah juga tengah mencoba untuk dapat melakukan kerjasama dengan Tesla, sebuah perusahaan mobil listrik yang dipimpin oleh Elon Musk untuk bisa berinvestasi di Indonesia dalam bidang pengembangan baterai untuk kendaraan listrik sebagai salah satu jalan untuk mengurangai emisi global. Namun, meskipun kendaraan-kendaraan menggunakan baterai sebagai energinya juga akan meyisakan kurang lebih 7000 hektar lahan bekas tambang nikel yang dieksplorasi sebagai bahan baku pembuatan baterai sehingg dapat memicu dampak kerusakan ekologis.

Tentunya, kebijakan domestik pemerintah Indonesia dalam beberapa hal yang telah disebutkan di atas malah tidak mencerminkan spirit dalam mengupayakan percepatan transisi energi bersih yang di prioritaskan di dalam KTT G20 2022. Semua hanya terlihat seperti gimmick politik pemerintah untuk mendapatkan komitmen global. Komitmen serius untuk menangani bencana krisis iklim kembali kepada kepentingan bisnis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun