Korea Selatan, dikenal sebagai pusat budaya pop global, menyebarkan pengaruh melalui K-Pop, drama, dan fashion. Di tengah hiruk-pikuk modernitas dan budaya Korea yang kuat, hadir seorang sosok Muslimah bernama Xaviera Putri Ardianingsih Listyo. Sebagai seorang pelajar Muslim di Korea Selatan, Xaviera menghadapi tantangan yang tidak mudah, terutama dalam menjalani hidup sesuai syariat Islam di negara dengan populasi Muslim yang kecil. Artikel ini akan mengupas bagaimana Xaviera menemukan dan membentuk identitasnya sebagai seorang Muslimah di tengah budaya Korea yang mendominasi.
1. Menjalani Hijrah di Negeri Ginseng
Xaviera Putri, seorang Muslimah, mengalami perjalanan spiritual yang tidak biasa. Hijrahnya sebagai muslimah di Korea Selatan, sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Buddha, Protestan, dan Katolik. Dalam lingkungan yang minim pengetahuan tentang Islam, Xaviera menghadapi banyak tantangan, termasuk soal penerimaan, adaptasi sosial, hingga pilihan berpakaian yang menjadi penanda identitas keislamannya. Hijab bagi Xaviera bukan hanya sekadar kain penutup kepala, tetapi simbol keyakinan yang membedakan dirinya di tengah masyarakat yang jarang melihat busana tersebut.
Korea Selatan terkenal dengan standar kecantikan yang tinggi dan tren fashion yang cepat berubah. Di sinilah Xaviera dihadapkan pada dilema antara mempertahankan identitas Islam melalui hijab dan beradaptasi dengan budaya fashion Korea.
2. Menghadapi Stigma dan Membangun Jembatan Melalui Hijab
Seiring dengan popularitas K-Pop dan industri hiburan Korea yang mendunia, tren fashion Korea juga menyebar ke berbagai belahan dunia. Budaya ini mendorong pemujaan akan fashion modern dan makeup yang seragam di kalangan generasi muda. Bagi Xaviera, berbusana sesuai syariah menjadi tantangan tersendiri di tengah standar kecantikan dan fashion Korea yang terkadang jauh dari rasa kerendahan hati dalam Islam.
Sebagai seorang yang menonjolkan hijab, Xaviera sering kali menghadapi stigma atau pandangan skeptis dari masyarakat sekitarnya. Seperti beberapa pertanyaan aneh dari teman-temannya tentang keingintahuannya mengenai hijab, "Kamu kalau tidur pakai hijab juga nggak?" atau "Kamu juga nunduk ya?" (nunduk maksudnya shalat), dan bukan ke arah mengejek atau mengintimidasi.
Hal semacam itu tentunya membuat dirinya merasa tidak nyaman, namun ia berusaha keras untuk membangun jembatan pemahaman, terutama melalui interaksi positif dan pendekatan yang ramah. Bagi Xaviera, penting untuk memperkenalkan hijab bukan hanya sebagai simbol agama, tetapi juga sebagai bagian dari identitas global yang bisa bersinergi dengan budaya lokal.
3. Antara Budaya Korea dan Identitas Muslimah
Budaya Korea menekankan pentingnya harmoni sosial, estetika visual, dan nilai tradisional. Sebagai Muslimah, Xaviera dihadapkan pada proses negosiasi antara mengikuti norma budaya Korea dan tetap teguh pada nilai-nilai Islam. Misalnya, saat menghadiri acara formal atau sosial di Korea, ada ekspektasi tertentu terkait cara berpakaian, yang terkadang tidak sejalan dengan prinsip berpakaian syariah. Namun, Xaviera mampu menunjukkan bahwa menjaga syariah dan menghormati budaya lokal bisa berjalan seiring. Dia sering tampil dalam pakaian muslimah namun tetap mengikuti tren fashion Korea dengan caranya sendiri. Gaya berbusana yang dipilih Xaviera adalah kombinasi antara fashion modern Korea dan elemen modest fashion.