Mohon tunggu...
Putri Gumala Sari
Putri Gumala Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Prima Nusantara Bukittinggi

Mahasisiwi Jurusan S-1 Psikologi di Universitas Prima Nusantara Bukittinggi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dampak Kekerasan Terhadap Anak: Ancaman Bagi Masa Depan Generasi Muda

30 Januari 2025   01:20 Diperbarui: 30 Januari 2025   01:16 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Masa kecil adalah fase penting dalam kehidupan seseorang, di mana pengalaman yang dialami akan membentuk karakter, emosi, serta pola pikir di masa depan. Namun, bagi sebagian anak, masa kecil mereka diwarnai oleh pemandangan kekerasan, baik di dalam rumah, lingkungan sekitar, maupun dari media. Paparan terhadap kekerasan ini dapat berdampak serius pada kesehatan mental dan proses tumbuh kembang mereka, mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan dunia serta menentukan masa depan mereka.  

Anak-anak yang sering menyaksikan kekerasan cenderung mengalami trauma psikologis. Mereka hidup dalam ketakutan yang terus-menerus, yang berisiko memicu gangguan kecemasan, depresi, hingga stres pasca-trauma (PTSD). Menurut penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga psikologi, anak-anak dalam situasi ini juga mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan membangun hubungan sosial yang sehat. Sebagian dari mereka bisa menjadi sangat tertutup dan pemalu, sementara yang lain meniru perilaku agresif yang mereka lihat, menganggap kekerasan sebagai cara yang wajar untuk menyelesaikan masalah.  

Dampak kekerasan juga terlihat dalam aspek akademik dan perkembangan kognitif anak. Lingkungan yang penuh ketegangan membuat mereka sulit berkonsentrasi di sekolah, sehingga prestasi akademik cenderung menurun. Selain itu, paparan terhadap kekerasan dalam jangka panjang dapat mengubah struktur otak mereka, khususnya bagian yang bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan respons terhadap stres. Penelitian dari Harvard University menemukan bahwa trauma di masa kecil dapat menyebabkan perubahan biologis pada otak yang berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku hingga dewasa.  

Sayangnya, kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan lonjakan kasus yang signifikan, dengan lebih dari 15.000 kasus dilaporkan sepanjang tahun 2024. Bentuk kekerasan yang dialami anak tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dan emosional, yang semuanya dapat meninggalkan luka mendalam dalam perkembangan psikologis mereka.  

Kondisi ini menjadi alarm bagi semua pihak untuk segera bertindak. Pemerintah, masyarakat, dan keluarga harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi anak-anak. Selain itu, penting untuk meningkatkan edukasi mengenai dampak kekerasan serta menyediakan akses terhadap layanan psikologis bagi anak-anak yang mengalami trauma. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat memutus rantai kekerasan dan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, sehingga mereka dapat berkembang menjadi individu yang sehat secara mental dan emosional.

Upaya pencegahan kekerasan terhadap anak tidak bisa hanya bergantung pada satu pihak. Peran keluarga sangat krusial dalam menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang. Orang tua perlu memahami bahwa pola asuh yang penuh kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, hanya akan meninggalkan luka emosional yang mendalam. Sebaliknya, mendidik anak dengan komunikasi yang sehat, memberikan rasa aman, serta mengajarkan cara mengelola emosi dengan baik akan membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang stabil secara mental dan sosial.  

Di sisi lain, peran masyarakat juga tidak kalah penting. Kasus kekerasan terhadap anak sering kali terjadi di lingkungan sekitar, namun masih banyak orang yang memilih diam atau menganggapnya sebagai urusan pribadi keluarga. Padahal, melaporkan dan mencegah kekerasan terhadap anak adalah tanggung jawab bersama. Masyarakat perlu lebih peduli dan aktif dalam melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan. Jika melihat tanda-tanda kekerasan pada seorang anak, seperti perubahan perilaku drastis, ketakutan yang tidak wajar, atau luka yang mencurigakan, langkah terbaik adalah melaporkan kepada pihak berwenang agar tindakan pencegahan bisa segera dilakukan.  

Pemerintah juga memiliki peran besar dalam memastikan perlindungan anak terjamin secara hukum dan praktik. Saat ini, Indonesia telah memiliki berbagai regulasi terkait perlindungan anak, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas bahwa kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal. Namun, implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar. Banyak kasus yang tidak tertangani dengan baik, baik karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk melapor, keterbatasan sumber daya, atau bahkan karena pelaku kekerasan masih memiliki posisi yang berkuasa dalam keluarga atau masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada penguatan dalam penegakan hukum serta peningkatan akses terhadap layanan rehabilitasi bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan.  

Selain tindakan hukum, penyediaan layanan psikologis bagi anak-anak korban kekerasan juga harus diperluas. Banyak anak yang mengalami trauma tidak mendapatkan bantuan profesional karena keterbatasan akses atau stigma sosial yang masih melekat. Padahal, intervensi psikologis yang cepat dan tepat dapat membantu mereka pulih dari pengalaman buruk serta mencegah dampak jangka panjang, seperti kecemasan kronis, gangguan stres pasca-trauma, atau perilaku agresif yang bisa terbawa hingga dewasa.  

Mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak bukan hanya soal melindungi individu, tetapi juga investasi bagi masa depan bangsa. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih sayang, dan bebas dari kekerasan akan berkembang menjadi generasi yang lebih sehat secara mental, lebih berempati, dan lebih mampu membangun hubungan sosial yang positif. Sebaliknya, jika kekerasan terus dibiarkan, kita akan menghadapi generasi yang penuh dengan luka emosional, yang bisa berujung pada meningkatnya angka kriminalitas, masalah kesehatan mental, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun