Kasus begal payudara, atau pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat umum, bagaikan luka menganga di tubuh hukum Indonesia. Perbuatan tercela ini tak hanya meninggalkan trauma mendalam bagi korban, tetapi juga mencoreng nilai-nilai moral dan martabat bangsa.
Lebih memprihatinkan lagi, kasus begal payudara kerap kali luput dari jerat hukum. Lemahnya regulasi dan stigma yang keliru terhadap korban menjadi batu sandungan dalam penegakan keadilan.
Landasan Hukum yang Tumpul
Secara hukum, begal payudara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pelecehan seksual. KUHP, khususnya Pasal 289 dan 290, mengatur tentang tindak pidana asusila. Namun, pasal-pasal ini dianggap kurang spesifik dan tidak secara gamblang mengakomodir kasus begal payudara.
Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di tahun 2022 membawa angin segar. Pasal 4 ayat (1) huruf b UU TPKS secara tegas mendefinisikan pelecehan seksual fisik, termasuk begal payudara, sebagai tindak pidana.
Meskipun demikian, UU TPKS masih menyisakan celah. Ketentuan mengenai unsur "memaksa" dalam pasal tersebut seringkali diinterpretasikan secara sempit, sehingga mempersulit pembuktian kasus begal payudara.
Data Mencengangkan: Luka yang Tak Terlihat
Data menunjukkan bahwa kasus begal payudara bukanlah fenomena gunung es. Riset Lentera Indonesia tahun 2020 menemukan bahwa 1 dari 3 perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual, termasuk begal payudara.
Realitas ini kian miris dengan minimnya laporan kasus. Hanya 2,3% korban yang berani melapor ke pihak berwajib. Stigma negatif, ketakutan akan viktimisasi sekunder, dan minimnya pengetahuan hukum menjadi faktor utama di balik fenomena ini.
Menuju Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Memperkuat regulasi dan penegakan hukum menjadi kunci utama dalam memerangi begal payudara. Berikut beberapa langkah yang perlu diupayakan:
- Sosialisasi UU TPKS: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang UU TPKS, khususnya terkait definisi dan mekanisme pelaporan kasus begal payudara.
- Pelatihan Aparat Penegak Hukum: Memberikan pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus pelecehan seksual, termasuk begal payudara, dengan perspektif korban.
- Dukungan bagi Korban: Membangun sistem pendampingan dan pemulihan bagi korban begal payudara, termasuk layanan psikologis dan hukum.
- Perubahan Budaya: Mendorong perubahan budaya patriarki dan misoginis yang memicu stigma terhadap korban pelecehan seksual.
Perlu diingat, begal payudara bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Menindak tegas pelaku dan melindungi korban adalah tanggung jawab bersama.
Bersama-sama, kita ciptakan ruang publik yang aman dan nyaman bagi semua, di mana perempuan dapat hidup tanpa rasa takut dan trauma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H