Entah mengapa saat ini sangat banyak orang berkomentar tentang banyak hal. Dari mulai hal remeh hingga hal yang cukup berat dan bermuatan hukum.
Seolah 'nyinyir' adalah kebiasaan yang dilestarikan oleh banyak orang.
Apakah kebebasan berpendapat, membuat manusia menjadi semakin liar dan kebablasan dalam mengemukakan pendapatnya?
Sepertinya kalau tak ada komentar julid, maka kurang 'nendang'. Layaknya sebuah bola yang panas bergulir, terutama bagi public figure, artis, maupun selebgram. Mereka merupakan sasaran empuk untuk dikomentari.Â
Apalagi jika tindak tanduk mereka tak sesuai dengan pandangan netizen atau followers nya. Maka hujatan, cacian dan kemarahan akan memenuhi kolom komentarnya. Meskipun ada juga yang berupa doa dan ungkapan baik atau bijak.
Terasa begitu miris, sedih, kesal dan bahkan merinding. Saya melihat banyaknya cuitan, hujatan dan kata yang tak pantas yang kadang kita jumpai dengan mudah di berbagai media Sosial. Instagram, Facebook, Twitter, Tiktok dan kolom komentar Youtube.
Saat ini setiap orang layaknya berlomba berebut berkomentar, layaknya menyatakan ia yang paling paham dan jumawa. Hingga tak jarang terucap ungkapan bully, bahkan body shaming (mengolok-olok bentuk tubuh).Â
Sehingga hujatan sudah menjadi lumrah adanya di masa sekarang.
Apakah tidak ada lagi toleransi, teposeliro yang dahulu diajarkan di pendidikan mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Kemana rasa peduli kita terhadap perasaan orang lain? Apakah saat ini sebagian besar orang hanya memikirkan kepuasan dirinya semata?
Cuitan bullying yang tak pantas baru akan berhenti, jika pemilik akun yang dihujat, menanggapi pada medsos dan berakhir di ranah hukum/kepolisian atau meja hijau. Barulah para pelaku perudungan kapok, dan meminta maaf atas apa yang mereka katakan dalam kolom komentar.
Kemajuan teknologi kini malah membuat manusia menjadi kurang empati, serta memiliki adab yang baik dalam memberikan pendapat. Hingga setiap hal seolah wajib dikomentari, secara masif (besar-besaran) dan berlebihan.
Dengan tujuan cuan, orang tidak peduli lagi jika komentarnya julid dan menyakiti orang lain. Tak ada lagi rasa mengasihi sesama. Karena tujuan bermedia sosial sudah berubah dari sekedar posting dan berbagi, namun menjadi harapan ingin "Viral dan populer".
Fenomena setiap orang berebut menjadi konten kreator "Viral'' menjadi tujuan untuk sukses. Karena semakin viral sesuatu, maka semakin populer orang pembuat hal tersebut.
Popularitas kini dinilai dari banyaknya follower yang dimiliki. Maka setiap orang berkeinginan menjadi semakin terkenal. Merebut hati orang lain, dan berusaha  menjadi public figure secara lebih cepat dan instan, yang saat ini disebut "Selebgram".
Di satu sisi tentu tidak ada salahnya, karena dari sanalah ide-ide kreatif hadir. Dan diharapkan mendapatkan banyak endorse dan iklan yang masuk. Sehingga semakin menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Namun yang membuat hati sedih, seolah tiap orang menjadi yang ter- (paling) paham dan memiliki ilmu atas kondisi dan hal yang terjadi orang yang sedang di komentari. Padahal bisa saja komentar yang disampaikan tersebut baru berisi asumsi, dan sekilas pandangan orang awam. Yang belum bisa di pastikan kebenaran sesuai dengan kenyataanya.
Terkadang banyak hal yang menjadi ramai di perbincangkan di media sosial. Terpengaruh pada situasi, waktu dan kondisi yang terjadi di  Negara kita, Indonesia. Misalnya saat panasanya suasanya politik ketika Pemilu PILPRES ataupun PILKADA.
Saya sungguh tidak habis pikir. Pada saat seperti itu, begitu mudahnya memprovokasi orang lain dengan kata-kata yang mebuat hati menjadi terasa panas, gelisah dan ingin marah.Â
Mungkin ini hanyalah sebagian ulah buzzer suruhan dari orang berkuasa, yang sengaja dibuat untuk memecah belah persatuan di negri ini? Dan begitu mudahnya menggiring opini. Bahkan hingga rakyat terpecah belah hingga menjadi 2 kubu, hingga muncul istilah cebong dan kampret/kadrun. Untuk para pendukung kandidat Presiden kala itu.
Padahal ketika pemilu selesai, akhirnya kedua kandidat pun bersatu dalam kabinet pemerintahan. Otomatis perselisihan ide, saling ribut, melontarkan ujaran kebencian layaknya sebuah perkelahian. Dari 2 kubu pendukung di media sosial menjadi tidak ada gunanya lagi.
Maka untuk kebaikan bersama, mari kita saling menjaga lisan dan hati. Menahan diri, untuk memikirkan baik-baik setiap hal. Serta mengontrol jari-jari untuk tidak berkomentar buruk dan jahat, meskipun kamu adalah seorang pakar atau ahli pada sebuah bidang ilmu yang berkaitan.
Berhati-hatilah dalam bertutur, pikirkanlah dahulu yang akan kita katakan. Jangan asal berbicara, karena terkadang kata adalah cerminan hati seseorang. Bisa saja kata buruk menghancurkan image (personal branding) yang sudah dibangun selama bertahun-tahun.
Waspadalah dalam berkomentar di media sosial, sehingga kita tidak menjadi "Si Pahit Lidah" atau orang yang selalu melontarkan kata yang buruk, pedas, atau pun pahit bagi orang lain. Berusahalah agar hanya kata-kata baiklah yang kita keluarkan dalam bentukan ketikan yang tertulis di setiap media sosial yang kita miliki.
Sehingga hanya jejak kebaikan digital lah yang kita tinggalkan. Dan nama yang baik sajalah yang orang lain ingat, hingga anak-cucu kita.
Pergunakanlah waktu luang untuk hal yang lebih bermanfaat untuk kebaikan sesama. Bukan sesuatu yang sia-sia, yang kelak akan dipertanggung jawabkan oleh Tuhan Maha pencipta di akhirat kelak.Â
-Catatan miris tentang kejulidan di media sosial, Mei24-Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H