Rasanya hati sedih mendengar banyaknya artikel yang berseliweran tentang penolakan terhadap fenomena sandwich generation di beberapa platform media sosial. Fenomena ini dikabarkan banyak ada di jaman sekarang ini, terutama di negara berkembang, salah satunya Indonesia. Disebut generasi sandwich karena generasi ini memiliki peran ganda dalam urusan keuangan, karena harus membiayai diri sendiri, orang tua dan anak.
Beban berlapis yang seolah menghimpit seseorang yang berada di generasi inilah yang diibaratkan seperti lapisan roti sandwich. Generasi sandwich ini merupakan usia produktif dengan rentang usia 25-42tahun. Menurut data dari Web Kompas.id, di Indonesia saat ini terdapat 67% orang yang termasuk ke dalam usia produktif dari total jumlah penduduk Indonesia. Â Â
Di Indonesia, bukan sebuah hal baru yang terjadi pada seorang anak saat ini, jika membantu keuangan orang tuanya dan juga tetap harus membiayai rumah tangganya (istri dan anaknya). Karena rasanya begitu lumrah adanya sejak jaman dahulu. Namun di media sosial, beberapa orang mulai membandingkan dan seolah menolak kondisi generasi sandwich di Negeri tercinta Indonesia dengan kondisi di Negara lain, contohnya Finlandia, Amerika, Jepang ataupun Negara Maju lainnya.
Di Negara Maju tersebut di ceritakan bahwa orang tua ketika mulai memasuki usia pensiun dan tidak lagi produktif, akan berpisah dari anak secara financial. Anak tidak berkewajiban menafkahi orang tua, karena orang tua diaggap sudah memiliki asuransi yang cukup untuk melanjutkan hidupnya tanpa bergantung kepada anak yang sudah memiliki kehidupan dan keluarganya sendiri.
Orang tua pun hidup terpisah (tidak dalam satu atap dengan anak). Bisa di rumah sendiri ataupun berada bersama lingkungan orang tua lansia lain di dalam sebuah kawasan lansia lainnya (di Indonesia di analogikan dengan rumah jompo). Sehingga anak tidak berkewajiban mengurus semua kebutuhan orang tua selama hidupnya. Terkecuali hanya menengok orang tua disaat tertentu (misalnya hari raya).
Saat ini rasanya masih jarang di Indonesia, anak yang menaruh orang tuanya yang sudah lansia di panti jompo, dan rasanya saya sendiri pun tidak tega untuk membayangkannya.
Pernah saya melihat sebuah cerita singkat di sebuah platform media sosial, bahwa di suatu tempat di luar negri, ada sebuah adat yang mengharuskan anak membawa orang tua yang sudah lansia ke atas gunung dan meninggalkannya disana, tanpa tempat tinggal. Si anak hanya bertugas membawa orang tuanya dan menaruhnya dengan membawa kebutuhan orang tua seadanya tanpa memikirkan keadaan orang tuanya kelak seperti apa di atas gunung tersebut. Dan orang tua pun hanya menangis ketika ditinggalkan, tanpa bisa menolak karena sudah ketentuan adatnya. Saya hanya bergidik sedih membayangkannya.
Saya sendiri seperti merasa kurang sreg jika sebagai anak menganggap bahwa memiliki tanggung jawab orang tua seolah sebagai beban. Bagaimana tidak, rasanya begitu tak pantas jika kita mengganggap kedua orang tua yang membesarkan anaknya dengan kasih sayang ketika si anak kecil, malah dianggap sebagai "sesuatu yang meresahkan" dan beban, ketika si anak telah tumbuh dewasa.
Benarlah kata pepatah, seorang Ibu bisa merawat banyak anaknya, namun belum tentu banyak anak bisa merawat seorang Ibu. Terasa sangat miris.
Namun pepatah tersebut belakangan terasa benarnya, jika dikaitkan dengan kehidupan di era milenial saat ini yang banyak orang ingin memiliki hidup praktis dan ekonomis. Jauh dari segala "keribetan" nya. Karena tentu setiap orang sangat ingin hidup nyaman dan enak. Jika perlu tanpa susah payah dan kesulitan.
Beberapa pendapat mengkaitkan bahwa membantu keuangan orang tua tentu untuk yang memiliki ekonomi (keuangan) yang cukup. Namun jika berpenghasilan pas-pasan, rasanya cukup berat untuk juga menyangga ekonomi orang tuanya. Mungkin sudut pandang tersebut bisa saja berlaku pada sebagian orang.