Mohon tunggu...
Putri Dwi aningsih
Putri Dwi aningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya sebagai mahasiswa di universitas muhammadiyah jakarta

saya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Buton Selatan

7 Januari 2024   20:20 Diperbarui: 7 Januari 2024   20:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa Cia-Cia ditutur di Sulawesi Tenggara, Pulau Buton bagian selatan, Pulau Binongko, dan Pulau Batu Atas. Menurut kisah lama, penutur bahasa Cia-Cia di Binongko berketurunan bala tentara Buton yang dipimpin oleh Sultan Buton. Nama bahasa ini berasal dari perkataan cia yang berarti tidak. Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari bahasa Belanda), bersama dengan bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung) Selatan. Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Baubau di selatan Pulau Buton yang terletak di tenggara Pulau Sulawesi di Indonesia. Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau menerima tulisan Hangeul Korea untuk dijadikan sistem tulisan bahasa Cia-Cia.

     Keadaan bahasa di pulau Buton rumit sekali dan kurang dipahami secara teliti. Antara logat-logat Cia-Cia termasuk Kaesabu, Sampolawa (Mambulu-Laporo), Wabula dan Masiri. Logat Masiri paling banyak kosakatanya dibanding logat baku. Dulunya, bahasa Cia-Cia menggunakan sejenis abjad Arab bernama "Gundul" yang tidak memakai tanda untuk bunyi vokal. Pada tahun 2009, bahasa Cia-Cia menarik perhatian dunia karena Kota Bau-Bau memutuskan agar tulisan Hangul dari Korea digunakan untuk menulis bahasa Cia-Cia, dan mengajar anak-anaknya sistem tulisan baru ini berpandukan buku teks yang dihasilkan oleh Persatuan Hunminjeongeum. Institut tersebut telah bertahun-tahun bertungkus-lumus menyebarkan penggunaan abjad Korea ke kaum-kaum minoritas yang tiada sistem tulisan sendiri di Asia.

ABJAD CIA-CIA

Konsonan

*

Latin

g

k

n

d

dh

t

r, l

m

b

v

bh

p

s

tiada (awal), ', ng (tengah, akhir)

j

c

h

IPA

[]

[k]

[n]

[]

[d]

[t]

[r], [l]

[m]

[]

[]

[b]

[p]

[s]

-, [], []

[d]

[t]

[h]

Vokal

Latin

a

e

o

u

i

IPA

[a]

[e]

[o]

[u]

[i]

* bukanlah huruf yang terpisah. Konsonan /r/ dan /l/ tengah dibedakan dengan menulis huruf tunggal untuk /r/ dan ganda untuk /l/. Huruf ganda harus ditulis dalam dua suku kata. Konsonan /l/ akhir ditulis dengan huruf tunggal; untuk konsonan /r/ akhir, huruf vokal kosong ditambah. Huruf vokal kosong () juga digunakan untuk /l/ awal.

Dalam proses menyesuaikan hangul dalam struktur bahasa Cia-Cia, huruf yang tidak terpakai dalam bahasa Korea, digunakan lagi untuk mewakili konsonan /v/.

Contoh:[13]

. .

Adi sering pali nononto televisi. Amano nopo'ombae ia nanumonto televisi kolie nomolengo.

ANGKA 1-10

Bahasa Indonesia

satu

dua

tiga

empat

lima

enam

tujuh

delapan

sembilan

sepuluh

Bahasa Cia-Cia (Hangul)

Latin

dise

rua

tolu

pa'a

lima

no'o

picu

walu

siua

omp

     Hingga tahun 2000-an, bahasa Cia-Cia adalah bahasa lisan yang digunakan warga Cia-Cia. Pada Agustus 2009, Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, memutuskan untuk mengadaptasi aksara hangeul dari Korea menjadi aksara Cia-Cia karena bahasa ini tidak punya aksara sendiri. Bahasa Cia-Cia adalah bahasa tutur yang memiliki sekitar 93.000 penutur. Karena menggunakannya sebagai bahasa lisan, masyarakat Cia-Cia tidak memiliki budaya tulis untuk bahasanya ini. Satu-satunya tradisi tulis masyarakat Cia-Cia ditemukan dalam kutika, yaitu semacam coretan-coretan yang ditorehkan pada sepotong papan kayu atau kertas yang mirip simbol. Kutika umumnya dimiliki orang yang dituakan dalam masyarakat.

     Mikka Wildha Nurrochsyam, peneliti pada Pusat Penelitian dan Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud mencatat, kebijakan menggunakan aksara Korea bermula dari Simposisum Internasional Pernaskahan ke-9, 5-8 Agustus 2005 silam. Usai simposium, para peserta melakukan wisata keliling kota. Saat itu, ahli bahasa Malaysia dan Ketua Departemen Hunminjeonggueum Masyarakat Korea Chun Taihyun berkelakar bahwa bahasa lokal yang ia dengar di sana mengingakan pada Korea. Chun Taihyun mengatakan, aksara hangeul dapat digunakan sebagai aksara untuk bahasa Cia-Cia yang sedang mengalami kepunahan. Pernyataan inilah yang segera direspons positif oleh Wali Kota Baubau.

     Pemerintah Kota Baubau lalu mengeluarkan kebijakan untuk mengadaptasi aksara Korea menjadi aksara Cia-Cia. Wali Kota mengimbau untuk mendokumentasikan budaya masyarakat Cia-Cia dengan aksara Cia-Cia. Dengan aksara baru ini, harapannya, bahasa, karya sastra, cerita rakyat, sejarah dan budaya masyarakat Cia-Cia diharapkan dapat didokumentasikan dengan baik. Sejak itu, beberapa papan nama jalan di kecamatan Sorawolio ditulis dengan aksara Korea. Pemerintah Kota Baubau juga menerapkan kebijakan pembelajaran aksara Cia-Cia yang notebene aksara hangeul dari Korea itu untuk masuk dalam kurikulum muatan lokal. Pembelajaran muatan lokal telah dilaksanakan di dua SD di Sorawolio dan Bugi.

      Aksara-aksara tradisional pada dasarnya adalah aksara yang paling sesuai untuk menuliskan bahasa aslinya, sekaligus menjadi alat pemelihara bahasa itu sendiri, seperti dikutip dari Aksara-Aksara di Nusantara: Seri Ensiklopedia oleh Ridwan Maulana. Bila suatu komunitas bahasa tidak atau belum memiliki sistem tulisan, sudah waktunya untuk memulai gerakan literasi dan pengentasan buta aksara. Di sisi lain, upaya membuat aksara sendiri untuk suatu komunitas tidak mudah dan mahal. Karena itu, menggunakan sistem tulisan yang sudah digunakan secara luas adalah alternatif terbaik untuk menjaga bahasa dan mengembangkan budaya literasi. Harapannya, upaya ini dapat meningkatkan kesempatan komunitas adat tersebut untuk menempuh pendidikan, bertukar informasi, dan mengemukakan gagasan.

     Berdasarkan panduan UNESCO dalam penulisan bahasa yang tidak tertulis, Writing Unwrittern Languages, A Guide to the Process, ada beberapa elemen kunci untuk mengembangkan sistem tulisan untk sebuah komunitas adat. Elemen ini berlaku baik dalam menerapkan kembali sistem yang sudah ada, maupun menerapkan aksara hasil ciptaan baru.

Elemen pengembangan sistem tulisan yakni sebagai berikut:

  • Faktor hubungan sosial, dengan proses dialog dan negosiasi dalam internal dan eksternal komunitas adat
  • Faktor konteks politik, dengan proses melobi, negosiasi, dan berkompromi pada peraturan pemerintah dan minat yang kompetitif
  • Faktor kekayaan budaya, dengan proses mengenali, memvalidasi, dan meningkatkan kesadaran sejarah, sastra lisan, dan pengetahuan kedaerahan
  • Faktor struktur bahasa, dengan proses menganalisis dan membandingkan sistem bunyi dan tata bahasa

Proses di atas secara keseluruhan mencakup jajak pendapat, membangun konsensus, dan membuat keputusan. Hasilnya antara lain munculnya sistem tulisan, sebanyak-banyaknya kesetujuan, dan sosial dan realitas kebahasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun