Mohon tunggu...
Putri Diva Febrin
Putri Diva Febrin Mohon Tunggu... Mahasiswa - about me

i am just an ordinary girl that love to share anything that have good impactful for others

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Program Perhutanan Sosial di Desa Loa

6 Januari 2022   12:53 Diperbarui: 6 Januari 2022   13:11 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Dalam dunia politik terdapat suatu institusi politik yang memiliki peranan penting. Institusi politik dibagi menjadi dua yakni institusi politik formal dan informal. Karakteristik yang dimiliki oleh institusi politik informal pastinya berbeda dengan yang dimiliki oleh institusi politik formal, diantaranya seperti Informal institutions vs. Cultural traditional, meskipun pada umumnya institusi informal selalu berkaitan dengan tradisi, namun tidak semuanya selalu berakar pada tradisi. Contohnya seperti Serikat buruh dan LSM lokal. State - society distinction, dalam hal ini terdapat perbedaan antara state (negara) yang diwakili dengan institusi politik formal dengan society (masyarakat) dengan institusi politik informal, meskipun bersifat formal, birokrasi atau state juga dapat memiliki mekanisme yang informal. Contohnya lembaga pemerintah dan LSM. Self-enforcing norms vs. formal rules, dalam institusi politik informal pada umumnya mampu membuat aturan yang ditegakkan sendiri sedangkan dalam institusi formal menegakkan aturan secara formal. Meskipun demikian aturan informal juga bisa didapatkan atau dipaksakan dari luar contohnya seperti clientelism. Legitimacy, dalam institusi informal legitimasi yang didapatkan bersifat auto-licensing yang didasarkan pada bentuk penerimaan sosial berdasarkan berbagai sumber. Modus of change, dalam institusi informal modus perubahan terletak pada perubahan insentif/diskusi publik. Timing of change, waktu perubahan yang dimiliki oleh institusi politik informal juga memiliki jangka waktu yang panjang.


Salah satu karakteristik yang sangat erat kaitannya dengan isu perhutanan sosial adalah state - society distinction. Di mana peranan institusi politik informal yang dimaksud ialah Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam kasus yang saya temukan di tempat magang yakni di Desa Loa, salah satu isu yang dibawa oleh DPKLTS yaitu mengenai isu perhutanan sosial. Perhutanan sosial merupakan salah satu program yang diluncurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Program ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Perhutanan sosial menjadi kesempatan bagi masyarakat tersebut untuk mengelola kawasan hutan dalam upaya memperbaiki perekonomian mereka. Pemerintah memberikan kesempatan bagi para petani untuk mengelola perhutanan milik pemerintah atau yang sering disebut Perhutani. Konsep perhutanan sosial sendiri dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dampak-dampak negatif yang dilakukan akibat aktivitas para petani kepada hutan. Dalam upaya mengatasi dampak-dampak negatif tersebut, para petani diberikan bekal oleh pemerintah mengenai bagaimana cara mengelola hutan agar hutan di sekitar mereka tidak rusak dan dapat terjaga walaupun menjadi pusat tempat aktivitas bercocok tanam. Konsep perhutanan sosial di Indonesia sendiri telah diterapkan sejak tahun 1989 (Lakshmi et al., 2019), namun hasil yang dirasakan oleh masyarakat Desa Loa baru saja terasa beberapa tahun belakangan ini.


Pada waktu sebelum program perhutanan sosial secara resmi telah disahkan oleh pemerintah, kondisi masyarakat di Desa Loa dapat dikatakan cukup memprihatinkan, dimana masyarakat Desa Loa sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebelum adanya program perhutanan sosial, masyarakat yang sebagian besar memiliki profesi sebagai petani itu memiliki keterbatasan dalam mengelola lahan dikarenakan keberadaan lahan yang didominasi oleh milik Perhutani. DPKLTS sebagai salah satu lembaga non pemerintah memiliki peranan penting dalam dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) oleh Presiden Joko Widodo mengenai program perhutanan sosial dan kawasan perhutani. Dengan diberlakukannya SK tersebut telah membuat masyarakat Desa Loa memiliki keleluasaan dalam mengelola hutan.


Program perhutanan sosial ini pun tidak luput dari berbagai konflik atau pertentangan dari masyarakat. Masyarakat Desa Loa mayoritas merupakan Petani Kopi, dan melalui panen kopi ini mereka dapat mulai memenuhi kebutuhannya. Namun mereka tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya secara langsung, melainkan melalui seorang tengkulak. Hal ini sangat berkaitan erat dengan istilah mafia ekonomi dan local bossism. Kehadiran local bossism yang juga sering dikaitkan dengan keberadaan mafia ekonomi, dimana para local bossism ini memanfaatkan kesempatan saat pemerintah sudah tidak mampu lagi mengatasi permasalahan yang terjadi di lingkungan lokal. Dalam kasus ini, mafia ekonomi yang dimaksud adalah tengkulak. Keberadaan tengkulak khususnya di Desa Loa dianggap sangat merugikan para petani, dan banyaknya tengkulak yang meraup keuntungan sebesar-besarnya dari hasil panen petani inilah yang membuat para petani tidak bisa merasakan hasil kerjanya secara menyeluruh.


Salah satu karakteristik dari sistem mafia ekonomi yang berkaitan erat dengan keberadaan tengkulak di Desa Loa yakni diversion of public resources atau pengalihan sumber daya publik. Sistem ini merupakan sistem konsolidasi rutinitas sistem ekonomi yang sistematis secara progresif dimana mafia ekonomi merampok sumber daya yang pada awalnya ditugaskan untuk pertumbuhan padat yang baik, selain itu juga mendeskripsikan mafia ekonomi sebagai bentuk kekayaan yang terkonsentrasi di tangan elit ilegal yang kemudian diartikan sebagai pemotong perusahaan yang bersih dan juga menghalangi masuknya pengusaha pemula karena segala sistem bisnis yang ditetapkan telah dikuasai oleh sang mafia ekonomi. Salah satu contoh dampak dari aktivitas ini adalah para pengusaha baru yang berasal dari dalam masyarakat tidak dapat mengembangkan bisnisnya karena adanya campur tangan mafia ekonomi yang telah berkuasa secara ilegal khususnya di daerah lokal.


Dalam kaitannya dengan local bossism, terdapat salah satu permasalahan yang juga hadir di dalam masyarakat adalah ketika peran pemerintah sebagai pengampu kebijakan sangat amat minim untuk melakukan kontrol terhadap program perhutanan sosial ini sehingga terkadang masyarakat hanya bergantung pada koperasi tanpa bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Sehingga keberadaan koperasi ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari local bossism di Desa Loa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun