Berdasarkan wawancara singkat dengan warga yang hidup di sekitar stasiun kereta Sudimara, penulis memperoleh prespektif baru tentang bagaimana keseharian mereka di lingkungan yang setiap harinya mau tidak mau harus terpapar oleh polusi suara. Seorang ibu berinisial Y, pemilik warung setempat yang juga merupakan tempat tinggalnya, berjarak sekitar 3M dari rel kereta, bercerita bahwa di bulan pertama setelah pindah, ia cukup terganggu dengan suara bising yang dihasilkan oleh kereta-kereta yang lewat.Â
Awalnya, adaptasi terhadap kebisingan membuatnya merasa stress dan pusing, tapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa. Hanya saja, suara klakson kereta membuat anaknya yang masih kecil sering terbangun saat tidur. Ini menunjukkan adanya gangguan tidur pada si kecil akibat dari polusi suara yang dihasilkan oleh kereta. Oleh karena itu, artikel ini akan mengupas fenomena tersebut melalui prespektif psikologi lingkungan dan dampaknya bagi kesehatan yang jarang kita sadari.
Polusi suara merupakan salah satu masalah lingkungan yang kerap terabaikan. Suara bising dari mesin kereta, klakson, dan aktivitas di stasiun merupakan salah satu sumber polusi suara yang paling intensif di wilayah pinggiran rel dan berkontribusi pada kebisingan yang menggagu kualitas hidup warga sekitar. Sebelumnya apa itu kebisingan? Apa perbedaannya dengan suara?
Jadi, suara yang diterima oleh telinga manusia dan dipersepsikan oleh pendengar, dapat dianggap menyenangkan atau sebaliknya. Kebisingan merupakan suara yang dianggap mengganggu atau tidak diinginkan. Biasanya dicirikan berdasarkan intensitas (misalnya desibel), frekuensi (nada suara), periodisitas (apakah suaranya terus-menerus atau terputus-putus), serta berapa lama durasinya. Ada dua faktor yang membuat kita merasa terganggu: aspek psikologis, yaitu saat kita merasa tidak menginginkan suara itu, dan aspek fisik, seperti seberapa keras suaranya (Steg & Groot, 2019).
Nah, dalam hal ini suara dengan intensitas tinggi yang melebihi rentang pendengaran manusia normal, dapat memberikan dampak negatif bagi individu, terutama bagi mereka yang tinggal dekat dengan stasiun kereta, termasuk dalam polusi suara. Di kawasan perkotaan, sumber-sumber polusi suara umumnya dikategorikan menjadi empat jenis: kebisingan industri, kebisingan transportasi, kebisingan rumah tangga, serta kebisingan dari sistem pengumuman publik (Kumar & Chowdary, 2024).
Dampak Kebisingan pada Penduduk di Sekitar Stasiun KeretaÂ
Dampak dari polusi suara tidak bisa kita abaikan begitu saja. Penelitian menunjukkan bahaya dari tingkat kebisingan yang tinggi dapat mengancam kesehatan fisik maupun mental seseorang. Polusi suara dapat menyebabkan masalah kesehatan yang merujuk pada dampak kesejahteraan terkait dengan kehilangan pendengaran, reaksi stres fisiologis, dan risiko penyakit kardioveskuler, saraf, serta pencernaan (Grubliauskas et al., 2014). Paparan kebisingan ini dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental individu. Kesejahteraan seseorang mulai terpengaruh ketika tingkat kebisingan melebihi 40 dBA, dengan banyak orang mengalami gangguan pada tingkat 50 dBA, serta gangguan ini menjadi lebih serius ketika mencapai 55 dBA. Kebisingan di atas 65 dBA bahkan dapat merugikan kesehatan (Ahmad & Magiantono, 2021).
- Menyebabkan Hearing-loss (Ketulian)
Kebisingan dapat merusak pendengaran, bahkan jika suara tersebut dianggap menyenangkan oleh pendengarnya. Paparan terus-menerus terhadap suara di atas 85 dBA selama sekitar 8 jam sehari sangat mungkin menyebabkan kehilangan pendengaran seiring waktu. Bagi orang yang tinggal dekat stasiun kereta, risiko ini mungkin lebih tinggi karena paparan konstan terhadap suara keras dari kereta api. Terdapat studi tentang kebisingan pesawat oleh Chen, Chen, Hsie, dan Chiang sebagaimana disitat dalam Bechtel & Churchman (2002) yang menemukan bahwa kemampuan pendengaran lebih buruk pada individu yang terpapar kebisingan pesawat frekuensi tinggi. Studi lainnya juga mengaitkan tingkat intensitas kebisingan yang dihasilkan kereta dengan gangguan fungsi pendengaran pada pekerja masinis di PT KAI yang diujikan melalui audiometri sebanyak 113 orang dengan hasil tercatat sebanyak 2,95% orang mengalaminya (Sangadi & Ratrikaningtyas, 2024). Demikian pula, penduduk di sekitar stasiun kereta Sudimara ini yang mungkin mengalami efek serupa dari kebisingan kereta terus menerus. Untuk membuktikannya dibutuhkan studi lanjutan mengenai hal ini di wilayah tersebut.
- Menyebabkan Stres dan Gangguan Tidur
Kebisingan juga dapat memicu reaksi fisiologis dalam tubuh, seperti peningkatan tekanan darah, sekresi hormon yang berlebihan, perubahan irama jantung, dan perlambatan proses pencernaan yang dapat menyebabkan stres. Jika kebisingan terus berlanjut, reaksi stres dapat menjadi kronis, termasuk sistem kardiovaskular yang berpotensi menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang (Bechtel & Churchman, 2002). Kebisingan dapat meningkatkan gangguan kesehatan mental. Berdasarkan laporan Council of Europe, risiko ini lebih tinggi pada orang yang memiliki kecenderungan alami untuk mudah merasa gugup atau cemas. Dalam kasus ini, kebisingan dapat memperburuk perasaan gugup tersebut. Bukan hanya itu, kebisingan juga dapat memperparah gangguan mental yang sudah ada sebelumnya, seperti neurosis (gangguan mental yang menyebabkan kecemasan berlebihan atau rasa takut). Jadi, bagi mereka yang rentan terhadap stress mental, kebisingan cenderung memperburuk kondisi yang sudah ada (Bragdon, 2016).
Selain itu, kebisingan turut berkontribusi terhadap gangguan tidur. Menurut Muzet, (2017) tidur merupakan keadaan fisiologis yang peka terhadap faktor lingkungan, dan salah satu gangguan dari luar yang dapat menyebabkan masalah tidur adalah kebisingan lingkungan (Maljaee et al., 2024). Suara yang mengganggu saat tidur dapat mengurangi efek pemulihan yang biasanya diperoleh dari tidur. Fase tidur REM merupakan fase tidur yang paling penting. Jika tidur REM terganggu, seseorang dapat mengalami kondisi yang lebih mudah terangsang atau cemas (Bragdon, 2016). Akibat gangguan tidur pada anak-anak juga menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan memburuknya gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau gejala ADHD (Halperin, 2014).
- Berdampak pada Perkembangan Bahasa, Kognisi, dan Pembelajaran Anak