Sebuah pohon tersisa di sepanjang pantai Rikuzentakata, propinsi Iwate di Jepang, setelah gempa besar dan tsunami melanda Tohoku tahun 2011. Tsunami telah membawa pergi semua pohon pinus kecuali satu yang tetap berdiri dalam kesendirian. Saat saya mengunjungi tempat ini, saya mencoba menyatukan hati saya dengan "survivor" yang merupakan saksi satu-satunya, dan mengungkapkan emosi yang disampaikan melalui tiga puisi dan foto. Puisi ini, yang sering disebut sebagai "ode", adalah terjemahan dari versi asli dalam Bahasa Inggris yang telah publikasi di White Enso.
Aku sendiri
menjulang tinggi
agar kau melihatku di sini
dan tak lupa akan memori
saat gelombang tinggi.
Jangan…jangan pernah lagi
kau bangun rumah di sini.
Biarkan kutetap sendiri
agar kau melihatku di sini
dan ingat untuk tidak lagi
membangun kehidupan di tepi.
TAK TERGOYAHKAN
Sang gelombang datang
dan mereka pun berhamburan.
Lautan menduduki daratan.
Suara-suara menggema bersahutan
menjadi latar benda-benda yang mengambang.
Bumi dan air mengguncang
teman-teman pinusku yang melambai ke awan.
Kehidupan berubah dalam satu dentang.
Ayunan melambat... tenang...
dan tanah muncul ke permukaan,
tapi semua lenyap dari pandangan,
meninggalkanku menjulang
sendiri bersama dengan
konkrit bengkok di belakang.
KENANGAN
Dulu dedaunan dari ribuan
batang pinus berbincang.
Burung-burung hinggap di dahan
dan berdendang.
Akankah mereka kembali datang?
Mungkin tak akan.
Mereka meninggalkanku mengenang
setiap bayangan
dari satu senja ke senja
sendirian.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H