Mohon tunggu...
Putri Ayu Wulandari
Putri Ayu Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Mencoba tidak ada salahnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Gaya Bank Muncul di Masa Pandemi?

29 Desember 2021   19:10 Diperbarui: 29 Desember 2021   19:12 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, 2 Maret 2020, untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia mengkonfirmasi munculnya virus corona di Indonesia. Dimana terdapat dua orang Indonesia yang positif terjangkit virus corona, yaitu perempuan berusia 31 tahun dan ibunya yang berusia 64 tahun. Virus corona sendiri dilanris berasal dari kota Wuhan, Cina, yang mana penyakit ini merupakan penyakit menular yang berasal dari virus SARS-CoV-2. 

Virus ini berkembang dan menyerang sistem atau saluran pada pernapasan, yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, infeksi paru-paru, bahkan kematian. Penularan virus ini terjadi ketika kita melakukan kontak langsung antar manusia, yakni dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi melalui partikel cairan kecil ketika orang tersebut batuk, bersin, ataupun berbicara. Bisa juga dikarenakan menyentuh mata, hidung, atau mulut setelah menyentuh permukaan benda yang terkontaminasi.

Langkah pemerintah untuk memutus mata rantai penularan virus ini yaitu dengan menerapkan kebijakan social distancing. Keputusan ini memang dirasa cukup berat, karena dari ada nya kebijakan ini tentu akan berdampak kesegala aspek kehidupan, terutama ekonomi. 

Pembatasan interaksi masyarakat, dilarang untuk berkerumun, diberlakukannya jam malem, tentu hal-hal tersebut dapat merugikan para pengusaha sektor formal maupun informal. Namun tidak ada pilihan lain, kebijakan ini dirasa cukup efektif dalam menghadapi pandemi covid-19.

Sektor Pendidikan merupakan salah satu sektor yang terdampak dari adanya kebijakan social distancing, sistem pendidikan di Indonesia berubah total ketika pandemi covid-19 muncul. 

Pemberlakuan kebijakan social distancing berimbas pada penutupan sekolah dan kampus yang berada di zona merah. Sehingga Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengeluarkan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dimana proses belajar mengajar sepenuhnya dilakukan dirumah secara daring, yang mana lebih memanfaatkan teknologi canggih seperti HP, laptop, berbagai aplikasi video conference, internet, serta aplikasi yang mendukung proses pembelajaran. 

Tentunya kebijakan tersebut menuntut siswa maupun tenaga pengajar untuk dapat beradaptasi dengan konsidi yang ada. Namun tidak dapat dipungkiri bahwasanya para stakeholder sekolah belumlah siap dengan perubahan yang terjadi begitu mendadak. 

Keterbatasan para tenaga pendidik dalam penggunaan teknologi menjadi masalah utama dalam keberlangsungan PJJ, kondisi serupa juga dialami para siswa, karena tidak semua siswa maupun orang tua siswa mahir dalam menggunakan teknologi. Ditambah lagi tidak semua siswa memiliki perangkat pendukung seperti hp/laptop untuk mereka melakukan PJJ.

Pembelajaran secara daring memang dirasa kurang efektif jika dibandingkan dengan pembelajaran secara tatap muka. Hal tersebut dikarenakan masih asingnya sistem PJJ baik bagi para tenaga didik, siswa, maupun orang tua siswa. Dampaknya, aktivitas maupun materi yang diterima siswa/mahasiswa dari guru/dosen menjadi terbatas. 

Siswa/mahasiswa sulit untuk memperdalam materi, selain itu  kurang lancarnya komunikasi antara guru/dosen dengan siswa/mahasiswa. Karena fakta dilapangan menyatakan, masih banyak tenaga pendidik yang hanya memberi bahan ajar berupa link youtube, foto, maupun file word melalui google classroom atau aplikasi WhatsApp, tanpa adanya penjelasan materi dari tenaga pendidik tersebut. Atau dalam kasus lain, ada guru/dosen yang hanya memberi tugas kepada siswa/mahasiswanya. 

Sehingga dirasa, model pembelajaran satu arah kembali dirasa saat masa pandemi ini, karena kurangnya dialog/interaksi yang terjadi antara siswa/mahasiswa dengan guru/dosen. 

Padahal proses pembelajaran yang baik ialah ketika terjadi dialog didalam kelas tersebut, sebab dengan berdialog pemikiran kritis siswa akan muncul. Maka dari itu, tidak jarang kita menemukan siswa/mahasiswa yang sekolah hanya sekedar absen, namun tidak mengikuti pembelajaran. Karena mereka pun tidak terpantau satu persatu jikalau tidak mengikuti pembelajaran.

Proses pembelajaran seperti ini mengingatkan kita pada proses pembelajaran yang disampaikan oleh  Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul pedagogic of the oppressed, yaitu 'Pendidikan Gaya Bank'. Dalam Pendidikan gaya bank, siswa dianalogikan sebagai bejana kosong, yang nantinya bejana tersebut akan diisi oleh guru.  

Menurut Freire (2000: 72), Pendidikan hanya seperti melakukan sebuah deposit, guru sebagai subjek deposit dan murid sebagai objek penyimpanan deposit. Alih-alih berkomunikasi, guru hanya membuat simpanan yang nantinya diterima, dihafal, dan diulang oleh siswa. 

Ciri metode pembelajaran yang naratif (bercerita) lah yang menjadika guru menempati posisi sebagia subjek. Sistem tersebut yang nantinya akan membuat murid sulit untuk berfikir kritis, kaku, dan membuat suasanan pembelajaran tidak hidup.

Maka dari itu Frier sangat mengkritik gaya Pendidikan tersebut. Yang Frier inginkan ialah metode pendidikan hadap masalah, dimana pendidik seharusnya mengemban transformatif dengan cara berdialog dengan yang lain bukan berusaha mewakilinya. 

Dalam konsep ini murid bukanlah orang yang tertidas, mereka secara aktif dan sadar ikut serta dalam kegiatan belajar. Namun sayangnya, pendidikan gaya bank terasa muncul kembali ketika PJJ, yang mana siswa hanya menerima materi ataupun tugas tanpa adanya penjelasan lebih rinci. 

Seperti halnya yang sudah dijelaskan diatas, bahwa siswa/mahasiswa hanya menerima bahan materi yang disediakan guru/dosen, karena ketika PJJ ini banyak tenaga pendidik yang lebih memilih pendidikan satu arah. Atau siswa/mahasiswa hanya menerima tugas-tugas, tanpa adanya penjelasan mengenai materi yang seharusnya diajarkan oleh guru/dosen. Sehingga dalam PJJ ini, disara kurang terjadinya dialog antar siswa/mahasisw dengan guru/dosen. 

Banyak siswa yang mengeluh kesulitan dalam memahami materi pembelajaran selama PJJ, orangtua siswapoun merasa bahwa sistem PJJ ini sangatlah berat, karena tidak semua orangtua siswa mampu mendampingi anak mereka ketika PJJ, materi-materi pembelajaran yang diberikan oleh gurupun tidak semuanya dimengerti oleh para orangtua, sehingga mereka kesulitan ketika mengajarkan materi tersebut  kepada anak-anak mereka. 

Tentu ini menjadi permasalahan krusial yang perlu dicari solusinya. Tenaga pendidik perlu mengembangkan kreativitasnya dalam mengolah proses pembelajaran, agar tujuan dari pendidikan itu sendiri dapat tercapai, dan siwa dapat keluar dari belenggu pendidikan satu arah. 

Kerjasama antar pihak terkait sangatlah dibutuhkan untuk berlangsungnya pendidikan di masa pandemi ini. Kesadaran siswa/mahasiswa juga perlu dibangun, kesadaran jika pendidikan satu arah ini tidak seharusnya terus berlangsung. Jika tidak, maka pendidikan denga gaya seperti ini akan terus berlangsung, yang mana hanya akan merugikan siswa/mahasiswa itu sendiri.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun