Heningnya malam adalah perayaan untuk riuhnya luka
Pilu yang kelam menari-nari di seantero kepala
Tenang tak kunjung hadir
Angan berakhir getir
Lantas siapa yang harus aku salahkan?
Semesta atau takdir?
Di malam yang gelap, tirai beludru terbuka lebar, mimpi-mimpi manis merangkul dalam alam batin. Dalam khayalan yang merajut benang tak terlihat. Pekat malam yang memeluk keheningan hadirkan ketenangan yang sunyi. Cahaya bintang-bintang redup, bintang membuat bentala kehilangan sinarnya. Bulan yang tampak indah juga tak menampakkan sinarnya. Bulan dan bintang, saling menghibur sunyi pada malam itu, sepasang teman setia berbagi cerita dan rahasia. Namun, bintang yang tadinya bersinar kini sedang redup cahayanya, di tengah malam yang kelam malam terbentang tak satu pun bintang bersinar. Galaksi melankolis, tak luput darinya. Meteor berjatuhan tanpa harapan, simbol kehilangan dalam kegelapan, berjajar planet sunyi tak bercahaya, bulan mengintip, mencoba menyapa namun ia enggan. Aku menyukai purnama. Tapi sungguh aku lebih menyukai waktu di mana bulan meredakan egonya, meredam cahaya hingga bintang dapat sama menunjukkan keindahan sinarnya. Karena di sanalah kedamaian benar-benar berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H