Perkembangan teknologi yang pesat, informasi tersebar semakin cepat, dan bertindak kejahatan semakin mudah. Salah satunya adalah revenge porn, atau penyebaran konten pornografi tanpa persetujuan, sebuah tindakan yang sangat merusak dan menghancurkan privasi serta martabat korban. Tak hanya itu, tindakan ini juga merupakan bentuk pelecehan seksual kepada para korban. Dalam situasi masyarakat Indonesia, masih kerap ditemukan komentar yang menyudutkan para korban. Beberapa komentar menyalahkan korban atas kesediaannya untuk berhubungan intim dengan pelaku, menganggap bersetubuhan itu wajar karena keduanya terikat dalam hubungan pernikahan yang sah, atau bahkan menjadi ikut-ikutan untuk menyebarkan video korban. Hukum, yang seharusnya dapat melindungi korban, pun tidak selalu dapat bekerja secara efektif dalam situasi ini. Sanksi sosial dan ketumpulan hukum membuat banyak korban dari revenge porn memilih untuk diam dan menyimpan rapat-rapat luka yang mereka alami akibat kejadian tersebut, sedangkan para pelaku kembali melanjutkan hidupnya seakan tidak terjadi apa-apa bahkan mengulang kembali revenge porn kepada korban lainnya.
Dalam proses pelepasan diri dari hukum kolonial, para perancangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 atau KUHP 2023, mereka memandang dan mempertimbangkan banyak hal, terutama terhadap tindak pidana yang belum atau tidak secara tegas diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") 1946. Pada awalnya, KUHP 1946 tidak memiliki pasal yang secara spesifik mengatur tentang revenge porn. Korban seringkali harus mengandalkan Pasal 282 tentang kesusilaan, yang tidak cukup kuat untuk menangani kompleksitas dan dampak dari kejahatan ini. Dalam konteks ini, banyak pelaku yang lepas dari jeratan hukum dengan berdalih di atas status "suka sama suka" atau "suami-istri sah", hal yang bersifat batiniah ini cukup sulit untuk dibuktikan karena tidak dapat dilihat secara nyata maupun dideteksi integritasnya. Selain itu, dalam proses dilakukannya tindak pidana, kebanyakan tidak melibatkan pihak ketiga yang dapat dijadikan saksi karena hubungan intim adalah hal yang privat. Oleh karena itu, dilakukan penajaman hukum di dalam KUHP 2023 guna melindungi para korban revenge porn atau pelecehan seksual lainnya.
Perubahan signifikan terjadi dengan diberlakukannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE"). Pasal 27 Ayat (1) UU ITE mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan, dapat dikenakan sanksi pidana. Pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Ketentuan ini memberikan landasan hukum yang lebih tegas dan spesifik untuk melindungi korban revenge porn dibandingkan dengan KUHP 1946. Selain itu, dalam Pasal 477 KUHP 2023 diatur pula mengenai perkosaan, hal baru dalam pasal ini adalah adanya ancaman pidana bagi pelaku perkosaan dalam pernikahan. Sebelumnya, di KUHP 1946, tidak ada aturan mengenai suami/istri yang melakukan perkosaan terhadap pasangan sahnya. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, Indonesia melihat bahwa sangat mungkin untuk terjadi kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengan alasan korbannya adalah pasangan sahnya. Hal ini membuktikan bahwa perkosaan tidak hanya terjadi di lingkungan luar nikah, tetapi juga di dalam pernikahan.
Penting untuk dipahami bahwa dalam konteks revenge porn dan pelecehan seksual, pelaku sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya. Meskipun korban telah melakukan hubungan badan secara konsensual, hal ini tidak berarti bahwa mereka memberikan izin untuk menyebarkan konten intim tersebut, apalagi dengan korban yang melakukan hubungan badan tersebut di bawah paksaan pelaku. Konsensual dalam hubungan intim tidak berarti persetujuan untuk penyebaran informasi pribadi. Hukum Indonesia, melalui UU ITE dan KUHP 2023, mengakui hak privasi individu dan melindungi mereka dari tindakan pelecehan seksual serta penyebaran konten tanpa izin.
Contoh kasus yang relevan dapat dilihat dalam film "Like and Share", di mana karakter Sarah diancam oleh kekasihnya, Devan, yang mengatakan bahwa jika mereka putus, semua foto dan video intim mereka akan disebarkan ke media sosial. Kasus serupa juga dialami dengan karakter lain dalam film tersebut, yaitu Fita. Seorang korban revenge porn dari (mantan) suaminya. Pada saat itu, hukum Indonesia tidak sepenuhnya mendukung Sarah maupun Fita, begitu pula dengan respon masyarakat. Sarah dikucilkan di sekolahnya, sedangkan Fita harus menahan malu karena videonya tersebar luas dan menjadi viral. Kedua wanita tersebut harus hidup dalam bayangan dan menyimpan traumanya dalam-dalam akibat aksi bejat dari para pelaku. Film ini juga menunjukkan adanya ketidakberpihakan hukum kepada para korban sehingga para pelaku dapat terlepas dari jeratan hukum dan hidup dengan tenang. Namun, dengan adanya UU ITE dan ketentuan dalam KUHP 2023, korban seperti Sarah dan Fita akan lebih terlindungi oleh hukum. Hukuman yang tegas bagi pelaku dan pengakuan atas hak privasi individu memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan yang layak.
Secara keseluruhan, perkembangan hukum di Indonesia telah memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban revenge porn maupun kekerasan dan pelecehan seksual lainnya. UU ITE dan KUHP 2023 menyediakan landasan hukum yang lebih kuat dan sanksi yang lebih tegas untuk pelaku. Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi privasi dan martabat individu serta memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan dan keadilan yang diperlukan. Dengan demikian, hukum berperan penting dalam mendukung korban revenge porn, kekerasan dan pelecehan seksual dalam bentuk lainnya, serta membantu mereka pulih dari trauma yang disebabkan oleh tindakan yang tidak mencerminkan kemanusiaan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H