Ia menatap sendu kearah langit yang sepertinya akan menurunkan rintik hujan,
"Ayah aku rindu, sejak ayah pergi ibu semakin mengekangku untuk menjadi yang terbaik menurut ibu, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku, ayah aku ingin memelukmu lagi."
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh juga diiringi dengan hujan yang mulai turun dengan derasnya, sepertinya langit turut merasakan sedihnya menjadi Anin.
"Ayah bolehkah aku menyerah? Aku sudah sangat lelah, sungguh, hasil yang selama ini aku peroleh sama sekali tak ada artinya untuk ibu."
"Ayah aku hanya butuh semangat darimu dan sebuah apresiasi dari ibu atas hasilku, apa itu sulit?"
Sungguh ia lelah dengan semuanya, di sekolah ia selalu dibully karena tak mau memberikan contekan kepada teman-temannya dan di rumah ia selalu dikekang, tak boleh keluar meskipun untuk bermain bersama teman-temannya, maka dari itu selama ini ia sama sekali tak memiliki teman apalagi sahabat.
***
Suatu saat ia pulang dari sekolah, dengan mata sembab dan earphone terpasang di telinganya ia berjalan, mencoba menyeberangi jalan raya itu, nampak sepi, tapi tungguuu...
Dari arah selatan sebuah mobil dengan kecepatan tinggi yang dikendarai oleh seorang pria mabuk, tiba-tiba melesat dengan begitu cepatnya, tak ada aba-aba
Brakkkk......
Entah siapa yang salah. Anin yang menyeberangi jalan sambil memakai earphone dan tak melihat ada mobil dengan kecepatan tinggi, atau pria mabuk yang ugal-ugalan di jalan? Semua itu terjadi begitu saja, begitu cepat dan tak dapat diputar kembali.