Di lorong gelap itu sebuah bayangan hitam berjalan gontai menuju rumahnya, matanya menatap kosong ke depan.
Seragamnya yang tadi pagi masih rapi kini telah rusuh dan penuh dengan lumpur. Rambutnya yang terurai panjang kini telah lusuh dan berbau.
Ia menginjakkan kaki ke rumahnya, rumah yang seperti neraka baginya. Dibukanya pintu bernuansa coklat itu. Hal pertama yang ia dapatkan adalah tatapan mata tajam dari ibunya,
"Mana hasil ulanganmu? dan kenapa bajumu seperti itu?"
Kemudian ia membuka resleting ranselnya dan mengambil sebuah kertas putih dengan nilai 90 didalamnya, dengan tangan gemetar ia menyodorkan kertas itu pada ibunya.
"Apa-apaan ini, kenapa tidak 100? Dasar bodoh! Untuk dapat nilai 100 saja tidak bisa, hari ini kamu tidak boleh ke mana-mana, cepat pergi ke kamar dan!" bentak ibunya.
"Tapi bu itu adalah nilai tertinggi di kelas," ujar Anin membela diri,
"Sudah ibu tak ingin tahu, nilaimu sangat memalukan," ujar ibu Anin lagi, lalu pergi meninggalkan Anin sendiri yang mati-matian tidak mengeluarkan air matanya.
Sudah cukup ia menangis tadi malam, karena terus dikekang ibunya untuk terus belajar hingga larut malam. Ayahnya telah meninggalkannya sejak ia berusia 8 tahun.
Setelah selesai membersihkan diri, ia langsung mendudukkan dirinya di kursi yang ada ditempat belajarnya yang ada didekat jendela kamarnya, sungguh ia sangat lelah dikekang untuk menjadi yang terbaik menurut ibunya.