Mohon tunggu...
Putri Ardila
Putri Ardila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia, Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan dan Konseling

Saya merupakan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2023. Saya memiliki semangat dan motivasi yang tinggi dalam menggapai suatu tujuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gangguan Stres Pasca Trauma: Kesehatan Mental pada Korban Pelecehan Seksual

31 Oktober 2023   22:30 Diperbarui: 2 November 2023   07:29 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ttps://id.pinterest.com/pin/741827369876715188/

https://id.pinterest.com/pin/686869380654341771/
https://id.pinterest.com/pin/686869380654341771/
         Miris, itulah satu kata yang berada dalam benak saat mendengar maraknya kasus pelecehan seksual. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa dapat menjadi target pelecehan seksual, yang pada umumnya korban pelecehan seksual terjadi pada wanita. Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa pun dan dimana pun. Kebanyakan korban pelecehan seksual terjadi pada anak dan remaja, karena dianggap sebagai individu yang lemah dan tidak berdaya, yang tidak dapat melakukan perlawanan ketika pelaku melakukan pelecehan seksual kepada mereka. Hal tersebut karena anak dan remaja masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada orang dewasa yang berada di sekitarnya (Amin, dkk., 2018). Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi orang dewasa, karena tidak sedikit pula orang dewasa yang menjadi korban pelecehan seksual. Pelecehan seksual dapat dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, seperti pelecehan seksual yang terjadi di bis, di jalanan, di pasar, dan di tempat-tempat lainnya. Bahkan, pelecehan seksual dapat dilakukan oleh orang terdekat yang berada di sekeliling kita, seperti teman dan keluarga. Siapa pun pelaku pelecehan seksual biasanya memiliki motif untuk memuaskan hawa nafsunya dan memenuhi hasrat dan gairah seksualnya. Pelecehan seksual merupakan suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, biasanya diiringi dengan paksaan atau ancaman, akan tetapi perlakuan tersebut tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran atau korban (Supardi & Sadarjoen, 2006). Pelecehan seksual dapat menimbulkan rasa malu, terhina, tersinggung, marah, serta merasa kehilangan harga diri dan kesucian pada diri korban sehingga kesehatan mental korban dapat terganggu.. Cakupan terkait pelecehan seksual ini sangat luas seperti main mata, colekan, tepukan, siulan nakal, atau sentuhan terhadap bagian tertentu pada tubuh korban.

          Pelecehan seksual dapat memberikan dampak buruk bagi korban baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik, dampak yang diberikan mungkin tidak terlalu besar dan tidak terjadi banyak perubahan. Akan tetapi, banyak dampak yang dirasakan secara psikis. Pelecehan seksual dapat mengganggu kondisi psikologis korban seperti stress, depresi, ketakutan, mengalami mimpi buruk, kesulitan dalam tidur, disfungsi seksual, kehilangan harga diri, dan bahkan menimbulkan keinginan untuk bunuh diri (Noviana, 2015). Pelecehan seksual juga dapat menyebabkan stres berat pada korban karena merasa dihantui oleh pengalamannya yang buruk tersebut. Adapun stres yang dialami oleh korban pelecehan seksual disebut dengan Gangguan Stres Pasca Trauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pascat rauma pada setiap individu dapat berbeda-beda, tergantung seberapa parah kejadian tersebut mem pengaruhi kondisi psikologis dari korban.

          Gangguan Stres Pasca Trauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan mental yang terjadi kepada seseorang setelah menyaksikan atau mengalami peristiwa yang bersifat traumatis atau sangat tidak menyenangkan. Trauma psikis dalam psikologi dapat diartikan sebagai adanya kecemasan yang hebat pada suatu individu atau shock yang mendadak akibat peristiwa yang terjadi pada individu tersebut, yang mana melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi, dan menghindar (Kaplan, 1998; Roan, 2003). Pada umumnya, orang yang mengalami gangguan stres pasca trauma merasa bahwa ia selalu dihantui oleh pengalaman buruk yang dialaminya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Suatu individu yang mengalami gangguan stres pasca trauma biasanya berada dalam keadaan stres yang berkepanjangan, sehingga dapat memunculkan gangguan otak, gangguan emosional, gangguan sosial, dan kemampuannya secara intelektual.

         Gangguan trauma ini dapat muncul apabila terdapat kejadian-kejadian yang memicu kembalinya ingatan terhadap kejadian yang menakutkan bagi individu tersebut, contohnya pada kasus pelecehan seksual. Adanya kesamaan pada warna, suara, tempat, dan peristiwa dapat memicu trauma tersebut karena teringat dengan pengalamannya yang pernah menjadi korban dari pelecehan seksual. Korban pelecehan seksual yang mengalami gangguan stres pasca trauma biasanya mengaitkan berbagai hal dalam kehidupan sehari-harinya dengan trauma terhadap pengalamannya sebagai korban pelecehan seksual. Hal tersebut membuat korban menjauhi aktivitas atau interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Korban terkadang merasa takut untuk berpergian sendirian dan harus ditemani oleh orang lain.

          Terdapat tiga gejala pada seseorang yang mengalami gangguan stres pasca trauma atau PTSD yaitu pengulangan pengalaman trauma (re-eksperience), penghindaran (avoidance), dan ketegangan (hyperarousal) (Wahyuni, 2016). Pada pengulangan pengalaman trauma, korban kembali teringat akan peristiwa pelecehan seksual yang menyedihkan baginya, yang menimbulkan reaksi emosional dan fisik yang berlebihan. Kemudian pada penghindaran, korban biasanya menghindari aktivitas atau percakapan yang memiliki hubungan dengan pengalaman yang membuatnya trauma tersebut. Dan yang terakhir pada ketegangan, dimana korban memiliki sensitifitas yang meningkat, hal ini ditunjukkan dengan keadaan korban yang sulit mengendalikan amarah, sulit berkonsentrasi, waspada, dan respon atau reaksi yang berlebihan terhadap segala sesuatu.

          Gejala fisik gangguan stress pasca trauma meliputi jantung berdebar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada,sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa. Terkadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi kehidupannya yang sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialaminya. Hal tersebut menyebabkan korban menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain apabila ingin pergi keluar rumah. Korban juga sering merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak percaya kepada orang lain, dan merasa dikhianati (Wardhani & Lestari, 2007). Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan kepada orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia.

          Melihat dampak yang besar terhadap kondisi psikis korban pelecehan seksual, diperlukan dukungan sosial yang besar kepada korban. Hal ini bertujuan untuk membantu korban secara perlahan mengatasi rasa trauma yang dirasakan. Orang yang sedang menderita trauma merupakan orang yang sedang dalam posisi membutuhkan simpati dan kepedulian dari lingkungan, dengan kondisi yang tidak stabil menuntut penderita trauma untuk melibatkan orang lain dalam proses pemulihan psikologisnya (Awaliyah dkk., 2021). Baik keluarga, masyarakat, maupun negara memiliki peranan penting dalam memberikan dukungan kepada korban pelecehan seksual, sehingga korban merasa disayangi dan dicintai, terlebih apabila korban dapat memberikan keterbukan dan kepercayaannya yang ditandai dengan adanya kemauan untuk bercerita. Dengan memiliki orang yang dipercayai, korban dapat memiliki tempat untuk bercerita sehingga bisa mengurangi stres yang dialami akibat menjadi korban pelecehan seksual. Adapun untuk memulihkan kondisi korban dapat dilakukan melalui pelayanan konseling yang dilakukan oleh seorang konselor yang memiliki keahlian pada bidang tersebut. Konseling merupakan salah satu upaya mengatasi konflik, hambatan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seseorang, juga sebagai upaya meningkatkan mental seseorang (Awaliyah dkk., 2021). Dengan begitu, korban dapat menjalankan kehidupannya dengan normal dan optimal tanpa adanya rasa trauma yang menghantui.

          Kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak, remaja, maupun dewasa harus segera ditangani. Hal tersebut karena pelecehan seksual menjadi sebuah pengalaman buruk bagi korban baik secara psikologis maupun emosional, seperti tidak dapat mengendalikan emosi atau mengalami stres dan depresi yang berkepanjangan, sehingga pada akhirnya membuat korban mengalami gangguan stres pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD). Bahkan, korban sering menganggap bahwa dirinya sudah tidak berharga lagi dan merasa dikhianati, akhirnya korban menjadi kehilangan semangat untuk menjalani kehidupannya dan memiliki kemungkinan untuk bunuh diri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan atas kasus pelecehan seksual, terutama dari pihak  pemerintah. Pelaku pelecehan seksual harus diberi hukuman yang sesuai, sehingga membuat pelaku jera. Dengan demikian, penderita gangguan stres pasca trauma akibat menjadi korban pelecehan seksual dapat diminimalisir.

Dosen :  Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN., M.Pd. & Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd.

REFERENSI

Amin, H., Muamal, G., & Jamaluddin, H. (2018). Perlindungan Anak dari Ancaman Kekerasan Seksual (Sebuah Tinjauan Berdasarkan Nilai-Nilai Islam). Al-Munzir Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Bimbingan Islam. (n.d).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun