Quantitative Easing telah menjadi salah satu topik yang paling banyak diperdebatkan dalam dunia kebijakan moneter selama beberapa dekade terakhir. Sejak krisis keuangan global pada tahun 2007, bank sentral di berbagai negara menggunakan Quantitative Easing untuk menstabilkan pasar keuangan dan memberikan stimulus pada ekonomi riil serta mendorong inflasi (Frikasih et al., 2022). Salah satunya Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat yang menerapkan kebijakan Quantitative Easing sebagai bagian dari upaya mereka untuk merespons dan mengatasi dampak resesi ekonomi yang parah. Namun, walaupun Quantitative Easing berhasil merangsang pertumbuhan ekonomi dan mengatasi krisis finansial, kebijakan ini juga membawa risiko dan dampak yang signifikan, baik bagi ekonomi domestik Amerika Serikat maupun pasar keuangan global.
Quantitative Easing (QE) adalah kebijakan moneter non-konvensional yang diterapkan oleh bank sentral untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah deflasi atau resesi yang parah. Kebijakan ini digunakan oleh bank sentral sebagai cara untuk meningkatkan jumlah uang beredar dalam negeri dengan cepat dengan harapan dapat memacu aktivitas perekonomian. Konsep dasar dari QE adalah bank sentral menciptakan uang baru secara elektronik dan menggunakan uang tersebut untuk membeli aset-aset keuangan jangka panjang, seperti obligasi pemerintah, surat utang korporasi, atau sekuriti berbasis hipotek (MBS) dari pasar terbuka. Tujuan utama dari QE adalah untuk menciptakan likuiditas tambahan di pasar keuangan, menurunkan tingkat suku bunga jangka panjang, dan merangsang investasi serta konsumsi dalam rangka meningkatkan aktivitas ekonomi. Dengan demikian, QE diharapkan dapat mendukung proses pemulihan ekonomi dalam situasi shock.
QE dilakukan ketika bank sentral merasa bahwa harga uang dibawah tingkat yang diinginkan, atau ketika ada risiko deflasi harga barang dan jasa. Bank Sentral akan menerapkan kebijakan QE saat tingkat suku bunga mendekati 0% dan tidak memenuhi tujuan yang ditetapkan(Angraheni & Sukamulja, 2014). Deflasi sendiri dapat menjadi masalah serius bagi perekonomian karena dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan utang riil, dan menurunkan pendapatan serta keuntungan perusahaan. QE sudah banyak diadopsi oleh bank sentral negara-negara besar untuk menyelesaikan krisis ekonomi, seperti Amerika Serikat (The Fed), Eropa (European Central Bank), Inggris (Bank of England), dan Jepang (Bank of Japan).
Pada tahun 2007 perekonomian dunia dihadapkan oleh krisis keuangan global. Krisis ini dipicu oleh sejumlah faktor kompleks, termasuk gelembung pasar perumahan yang meletus, krisis hipotek subprime, dan kegagalan lembaga keuangan besar. Turunnya harga rumah secara tajam, bersama dengan meningkatnya ketidakpercayaan di pasar keuangan, memicu gelombang kerugian yang merusak, kebangkrutan, dan ketidakpastian ekonomi yang tak terduga. Krisis keuangan global ini menjadi tantangan besar yang dihadapi oleh perekonomian negara-negara di dunia, tak terkecuali Amerika Serikat.
Pada saat krisis mencapai puncaknya pada sekitar tahun 2008, Amerika Serikat dihadapkan pada kondisi yang mengkhawatirkan, termasuk tingkat pengangguran yang meningkat drastis, penurunan investasi, dan konsumsi yang melambat. Kebijakan moneter konvensional yang biasa dilakukan oleh The Fed, seperti menurunkan suku bunga, sudah tidak cukup efektif karena suku bunga sudah mendekati nol persen. Ini mendorong kebutuhan akan pendekatan yang lebih inovatif dan agresif dalam merespons krisis tersebut.
Dengan menghadapi situasi tersebut, The Fed Amerika Serikat memutuskan untuk mengambil langkah-langkah yang tidak konvensional dengan menerapkan QE. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap keterbatasan kebijakan moneter konvensional dalam mengatasi krisis yang sedang berlangsung untuk mempertahankan bunga acuannya tetap rendah. The Fed telah mencoba menerapkan QE sebanyak 4 kali dan mengakibatkan neraca The Fed tumbuh secara kumulatif sebagai berikut:
- QE1 (Jani 2009 - Agus 2010) : Pembelian sekuritas agensi senilai $175 miliar dan sekuritas berbasis hipotek (MBS) senilai $1,25 triliun.
- QE2 (Nov 2010 - Jun 2011) : Pembelian surat berharga Treasury jangka panjang senilai $600 miliar.
- QE3 (Sep 2012 - Okt 2014) : Pada September 2012, The Fed mulai membeli MBS dengan harga $40 miliar/bulan. Lalu, bulan Januari 2013, pembelian ini dilengkapi dengan pembelian surat berharga Treasury jangka panjang dengan harga $45 miliar/bulan.
- Program Normalisasi Neraca : The Fed mulai mengurangi neracanya pada bulan Oktober 2017. Dimulai dengan tingkat awal sebesar $10 miliar/bulan, program ini meminta kenaikan sebesar $10 miliar/bulan setiap kuartal, hingga tingkat akhir tingkat pengurangan sebesar $50 miliar/bulan tercapai.
- QE4 (Okt 2019) : Oktober 2019, The Fed mulai membeli surat utang Treasury dengan tingkat bunga $60 miliar/bulan untuk mengurangi masalah likuiditas di pasar pinjaman semalam. Meskipun secara resmi bukan merupakan program QE, pembelian ini masih mempengaruhi neraca The Fed.
QE telah memberikan sejumlah manfaat signifikan bagi ekonomi Amerika Serikat. Salah satu manfaat utamanya adalah dalam merangsang pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran. Dengan menurunkan suku bunga jangka panjang, QE berhasil mendorong pinjaman dan investasi perusahaan. Ini menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perusahaan untuk meminjam dana dengan biaya yang lebih rendah, yang pada gilirannya memacu aktivitas ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan investasi dan ekspansi bisnis juga memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Selain itu, QE juga memiliki dampak yang kuat pada pasar saham Amerika Serikat. Dengan menyediakan likuiditas yang besar di pasar keuangan, QE meningkatkan permintaan akan aset berisiko seperti saham. Hal ini menyebabkan kenaikan harga saham dan meningkatkan nilai aset bagi investor. Kenaikan nilai aset ini, termasuk nilai saham dan portofolio investasi, berkontribusi pada peningkatan kekayaan rumah tangga Amerika Serikat secara keseluruhan. Penambahan kekayaan ini memberikan dorongan tambahan bagi konsumen untuk menghabiskan lebih banyak, yang pada gilirannya meningkatkan konsumsi dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Namun, meskipun QE telah memberikan manfaat ekonomi tertentu, kebijakan ini juga tidak terlepas dari tantangan dan risiko yang signifikan. Salah satu risiko utama dari QE adalah potensi inflasi yang tinggi. Dengan menciptakan uang baru dalam jumlah besar, QE berpotensi meningkatkan tekanan inflasi dalam jangka panjang, yang pada gilirannya dapat merusak stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, QE juga dapat memicu gelembung aset, terutama di pasar saham dan properti, yang berisiko menyebabkan krisis finansial baru jika gelembung tersebut pecah.
Tidak hanya memiliki dampak pada ekonomi domestik Amerika Serikat, tetapi QE juga memiliki dampak yang signifikan pada pasar keuangan global. Salah satu dampak utama adalah aliran modal yang besar ke negara-negara berkembang. Dampak ini terjadi karena penurunan suku bunga jangka panjang di Amerika Serikat mendorong investor untuk mencari tingkat keuntungan yang lebih tinggi di pasar negara-negara berkembang. Akibatnya, terjadi penguatan mata uang dan kenaikan harga aset di negara-negara berkembang tersebut.
Namun, ketika kebijakan QE berakhir atau dikurangi, terjadi penarikan modal yang cepat dari negara-negara berkembang. Hal ini dapat menyebabkan gejolak keuangan dan bahkan resesi ekonomi di negara-negara tersebut. Penarikan modal yang cepat dapat melemahkan mata uang negara berkembang, menimbulkan ketidakstabilan pasar keuangan, dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif.
Selain itu, dampak QE juga dapat dirasakan dalam hubungan antar-negara. Kebijakan moneter yang diadopsi oleh Amerika Serikat dapat memicu respons dari bank sentral negara-negara lain, yang kemudian mempengaruhi kebijakan ekonomi global secara keseluruhan. Pergerakan mata uang dan fluktuasi harga aset di pasar global menjadi lebih sensitif terhadap langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh bank sentral utama seperti The Fed. Oleh karena itu, meskipun QE mungkin memberikan manfaat sementara bagi negara-negara berkembang, mereka juga rentan terhadap dampak negatif yang timbul ketika kebijakan tersebut dicabut atau dikurangi.
QE mendapat kritik dari berbagai pihak atas beberapa alasan. Salah satu kritiknya adalah bahwa QE memperkuat ketidaksetaraan ekonomi. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan mendukung pasar keuangan, manfaatnya cenderung mengalir ke sektor keuangan dan bisnis besar. Hal ini terjadi karena pembelian aset-aset keuangan oleh bank sentral dalam skala besar memicu kenaikan harga aset, seperti saham dan properti, yang lebih menguntungkan bagi mereka yang memiliki akses ke pasar keuangan. Di sisi lain, keuntungan bagi pekerja dan rumah tangga biasa relatif terbatas, karena QE cenderung kurang efektif dalam meningkatkan pendapatan dan daya beli mereka. Selain itu, QE juga dianggap sebagai bentuk intervensi pasar yang berlebihan, yang bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Kritikus mengkhawatirkan bahwa campur tangan yang terlalu agresif dari pemerintah dalam kebijakan moneter dapat merusak keseimbangan pasar dan memunculkan risiko yang tidak diinginkan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, sementara QE dapat memberikan stimulus sementara bagi pertumbuhan ekonomi, kritik terhadap kebijakan ini menyoroti dampak negatifnya terhadap ketidaksetaraan ekonomi dan prinsip-prinsip pasar bebas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H