Mohon tunggu...
Putri Annisa Nadia
Putri Annisa Nadia Mohon Tunggu... -

Dokter

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dapatkah RS Menjadi Low Cost Hospital?

13 Januari 2015   01:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

RS Merupakan industri jasa yang padat modal, padat karya dan padat risiko. Didalamnya terdapat berbagai macam profesi dengan tingkat pendidikan mulai dari SMA sampai profesor sekalipun. Secara umum fungsi rumah sakit adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Secara khusus fungsi rumah sakit adalah untuk melakukan kegiatan promotif, preventif , kuratif dan rehabilitatif. Semenjak di syahkan dan dijalankannya JKN (jaminan Kesehatan Nasional) banyak RS merasa terancam ekistensinya. Hal ini disebabkan karena dalam JKN memberlakukan sistem INA CBG, atau sistem paket untuk setiap diagnosis penyakit pasien. Kode INA CBG’s ini adalah hasil dari koding penyakit dan tindakan apa yang dilakukan kepada pasien. Dari hasil koding tersebut keluarlah tarif berdasarkan kode INA CBG’s tadi. Dari beberapa tarif yang pernah penulis lihat, memang dibandingkan dengan tarif yang biasa ada di RS, tarif ini lebih rendah. Hal ini membuat manajemen RS dan juga dokter menjadi “ketar-ketir”.  Karena dengan tarif seperti itu dikahwatirkan RS dapat terancam keberlangsungannya.Tetapi di lain pihak sebenarnya JKN dalam hal ini BPJS sangat membantu masyarakat. Karena dengan adanya BPJS pasien pengguna layanan kesehatan khususnya RS mendapatkan kepastian harga setiap dia berobat ke RS. Hal ini yang tidak bisa dilakukan apabila sistem tarif RS masih menggunakan fee fo service. Dengan adanya sistem INA CBG’s rumah sakit wajib untuk membuat dan menerapkan Clinical Pathway (CP) terutama untuk penyakit-penyakit yang High volume, high cost tetapi dengan prognosis yang jelas. Diharapkan dengan adanya penerapan CP pasien mendapatkan kepastian mutu layanan kesehatan yang sama untuk setiap diagnosis yang sama. Mengingat sedang digembar-gemborkannya BPJS oleh pemerintah, mampukah RS mengikuti sistem tarif dengan konsekuensi harus kembali mengkaji biaya-biaya yang dikeluarkannya untuk pasien?

Mungkinkah RS Menerapkan Low Cost Hospital?

Seperti yang telah kita ketahui bersama dan juga telah disebutkan pada artikel judul “Low Cost Hospital Mungkinkah?” yang dibuat oleh DR. Yaslis Ilyas, DRG. MPH. HIA. MHP. AAK, bahwa komponen biaya rumah sakit terdiri atas : 1) biaya investasi diantaranya gedung, alat medis dan non medis, alat penunjang medis. 2) Biaya operasional dan pemeliharaan diantarnya terdiri dari gaji, obat/bahan medis, alat medis habis pakai, makanan/gizi, bahan/alat non medis habis pakai, laundry, pemeliharaan (gedung, alat medis dan non medis), umum, listrik, air, telepon, BBM, pelatihan , perjalanan dll.

Dari yang penulis ketahui, untuk di RS swasta, komponen  biaya pada pasien untuk pasien surgical (bedah) ,komponen sarana prasarana (sewa ruang oka beserta dan alatnya) merupakan biaya terbesar, selanjutnya jasa dokter,  pemeriksaan penunjang  lalu administrasi. Sementara dari manajemen pada saat penghitungan tarif : komponen gaji karyawan maupun dokter dan investasi merupakan komponen yang berperan besar dalam menghasilkan tarif.

Dengan sistem pembayaran dokter yang fee for service dipihak lain memberikan keuntungan bagi rumah sakit, karena gaji dokter menjadi variabel cost dan tidak menjadi fixed cost. Tetapi dengan penarikan biaya jasa dokter per pasien dan per kunjungan, dikhawatirkan terdapat penyimpangan terutama dalam lama perawatan pasien. Permasalahan ini dapat diantisipasi dengan diterapkannya Clinical Pathway dan juga SPM (Standar Pelayanan Medis) dan SPO (Standar Prosedur Operasional) untuk penyakit yang High volume, high cost tetapi dengan prognosis yang jelas. Dan juga perlu dilakukan audit medik secara berkala untuk menjamin kualitas mutu pelayanan.  Untuk efisiensi biaya gaji karyawan rumah sakit seperti yang dituliskan juga oleh Yaslis harus bisa menghitung beban kerja di masing-masing unit dan juga harus ditetapkan standar kompetensinya sehingga masing-masing pekerja dapat bekerja optimal dan produktif, dan rumah sakit tidak terbebani dengan SDM yang tidak kompeten dan tidak berfungsi. Selain itu perlu dibantu kebijakan dari pemerintah untuk tenaga kesehatan diberikan pendidikan gratis atau minim biaya dan juga dibuat seminar-seminar untuk pendidikan berkelanjutan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga medis maupun tenaga kesehatan yang ada di RS.

Untuk biaya penunjang medis yang mahal, disebabkan karena harga dari alat medis memang mahal dan kebanyakan adalah produksi luar negri. Akibatnya RS yang sudah berinvestasi menetapkan tarif yang tinggi untuk mempercepat Break Even Point (BEP). Untuk antisipasi mahalnya biaya penunjang medis diperlukan juga kebijakan pemerintah dalam hal ini diantaranya adalah :1)menghilangkan pajak alat medis,  2) memberikan alat medis  bagi RS-rumah swasta terutama yang ikut berpartisipasi dalam program BPJS dan 3)  memberikan subsidi untuk biaya pemeliharaan alat medis. Selain yang telah disebutkan oleh Yaslis dalam artikelnya tersebut ada beberapa hal yang ingin penulis tambahkan yang berakitan dengan kebijakan pemerintah untuk membuat RS menjadi low cost hospital :

1.Dibutuhkan kebijakan pemerintah terutama untuk rumah sakit swasta agar rumah sakit mendapatkan jaminan jumlah pasien, dibuat jenis pelayanan yang bisa dilakukan oleh RS per tipe RS. Contoh RS C hanya bisa melayani diagnosis penyakit yang ditetapkan. Apabila dibutuhkan pelayanan tipe B maka pasien diberi rujukan. Sebaliknya juga apabila rumah sakit tipe B mendapat kasus yang bisa dilakukan oleh tipe C pasien dirujuk ke tipe C. Dengan begitu masing-masing RS dapat efisien dan tidak saling “rebutan” pasien.

2.Pemerintah menunjuk distributor tertentu atau untuk jangka panjang membuat pabrik alkes sehingga rumah sakit mendapat harga yang ekonomis.

3.Pemerintah membuat kebijakan pemberian alat medis cuma-cuma dan memberikan subsidi pemeliharaan alat medis kepada rumah sakit swasta yang ikut berkontribusi dalam program BPJS.

4.Bagi RS swasta yang ikut berperan dalam BPJS diberikan subsidi untuk membiayai seminar/workshop untuk para dokter dan tenaga kesehatan yang bekerja di RS tersebut. Untiuk jangka panjangnya pemerintah menunjuk institusi pelatihanan khusus untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan ini, sehingga para tenaga medis dan tenaga kesehatan tidak perlu mencari sponsor dari pabrik obat maupun alkes.

5.Pemerintah memberikan potongan pajak dan  jaminan kesehatan bagi para tenaga kesehatan yang ikut berperan dalam pelayanan pasien JKN baik di RS swasta maupun rs pemerintah.

6.RS menerapkan tarif flat untuk jasa medis dokter walaupun ditempatkan di kelas yang berbeda. Tetapi ada standar jasa medis minimal yang manusiawi untuk dokter.

7.Pemerintah memberikan subsidi pajak dan membebaskan biaya ijin-ijin operasional rumah sakit yang sudah berkontribusi dalam program BPJS.

Demikian beberapa hal penulis uraikan. RS dapat menerapkan Low Cost Hospital, tentunya dibutuhkan kerjasama yang harmonis dan terbuka antara pihak swasta dan juga pemerintah. Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijikan juga harus mau tau tentang permasalahan yang dihadapi oleh rumah sakit swasta dan ada baiknya  ikut memberikan solusi. Sehingga peningkatan kesehatan masyarakat dapat kita capai bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun