Mohon tunggu...
Putri AndiniSutejo
Putri AndiniSutejo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Memiliki minat pada bidang bisnis kuliner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makanan, Status, dan Hierarki: Refleksi Sosial

17 Desember 2024   19:30 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:28 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Makanan, selain untuk memenuhi kebutuhan dasar, juga memiliki dampak signifikan pada perilaku dan status sosial seseorang. Data dari Populix(2024) menunjukkan bahwa konten inspirasi kuliner menduduki urutan ketiga dalam kategori konten media sosial yang paling sering diakses oleh warga Indonesia, dengan persentase sebesar 63%. Hierarki sosial yang direfleksikan dalam makanan telah ada sejak masa lampau, seperti ayam betutu yang kerap digunakan dalam upacara adat dan dianggap sebagai makanan para raja di zaman Kerajaan Bali.

Keberagaman makanan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti budaya, ekonomi, tradisi, geografi, dan inovasi. Didukung dengan adanya tren makanan eksklusif di media sosial, refleksi makanan terhadap status sosial semakin kuat. Artikel ini akan membahas dinamika makanan, status, dan hierarki sosial di Indonesia.

Simbol Bahan Makanan Yang Mencerminkan Status Sosial

Status sosial umumnya dibagi menjadi tiga berdasarkan kemampuan ekonomi, kelas atas, menengah, dan bawah. Kecenderungan tersebut menjadikan mereka memiliki level makanan yang berbeda. Level makanan dapat dilihat dari nilai bahan baku yang digunakan. Kaviar dan Wagyu A5 yang sering dihidangkan pada menu kelas atas memiliki range harga jutaan per kilogram, bahkan truffle bisa mencapai puluhan juta. Pada hidangan kelas menengah, seseorang cenderung memilih bahan baku berkualitas dengan rata-rata harga dibawah Rp500.000/kg. Kemudian, pada hidangan kelas bawah, mencakup makanan pinggir jalan yang kurang sehat dan harga terjangkau.

Pengaruh Psikologis Dalam Pemilihan Makanan

Pengaruh psikologis dalam pemilihan makanan sangat dipengaruhi oleh level ekonomi. Menurut teori Maslow, seseorang cenderung memenuhi kebutuhan yang paling dasar dahulu sebelum kebutuhan kompleks. Masyarakat dengan level ekonomi bawah cenderung memilih makanan pokok mengenyangkan dan sayuran lokal yang mudah diakses serta harga yang terjangkau. Mayoritas dari mereka mengutamakan ketahanan pangan harian yang cukup untuk keluarga mereka sepanjang waktu. Pada level ekonomi menengah, konsumen menyeimbangkan antara nilai gizi dan budget yang dimiliki. Mereka juga lebih bervariasi dalam memilih makanan sehat yang terjangkau seperti sayuran segar, protein nabati dan sumber karbohidrat murah. Tren sosial media dan gaya hidup praktis juga mempengaruhi pilihan makanan mereka.

Sementara itu, individu dengan level ekonomi atas memilih makanan eksklusif yang menawarkan pengalaman unik dan prestige. Mereka memilih jenis makanan mewah untuk menunjukkan status sosial mereka. Selain itu, kesehatan menjadi prioritas utama, sehingga mereka cenderung memilih makanan organik dan superfood.

Pengaruh Influencer pada Perilaku Konsumen dan Produk Makanan

Pengaruh influencer terhadap perilaku konsumen makanan dan produk makanan sangat signifikan. Dilansir dari laman marketing.co, 94% responden mengatakan bahwa influencer mempengaruhi keputusan pembelian mereka. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain,  kredibilitas influencer, konten menarik, koneksi emosional, dan review produk. Saat ini, influencer berhasil menginspirasi mereka untuk mengadopsi gaya hidup sehat dan berkelas, serta pemilihan produk. Hal ini membuat konsumen menjadi lebih selektif dalam memilih produk makanan. Mayoritas masyarakat yang terpengaruh adalah kelas menengah yang menginginkan pengakuan sosial bermodalkan mengikuti tren media sosial.

Dampak Ekonomi Bagi Industri Makanan

Berkaitan dengan perilaku konsumen dan pengaruh konten influencer, industri makanan turut merasakan dampaknya. Peningkatan penjualan dan pendapatan melalui promosi di media sosial memberikan eksposur yang lebih luas. Kerjasama dengan UMKM membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, seperti yang dilakukan oleh Magdalena, seorang food vlogger dengan jutaan subscriber di YouTube yang sering membuat UMKM mendadak ramai setelah diulas dalam konten unggahannya. Dalam mengikuti tren makanan di media sosial, industri makanan mulai berlomba menginovasikan produk dan mengembangkan strategi pemasaran yang menarik konsumen dan influencer. Investasi dalam pemasaran digital pun meningkat, menawarkan promosi produk yang lebih efisien dan tepat sasaran. Selain itu, kolaborasi dengan influencer membantu meningkatkan kesadaran merek dan membangun loyalitas konsumen melalui koneksi emosional dengan pengikut mereka.

Dampak Sosial dari Stereotip Level Makanan 

Stereotip level makanan yang terjadi di masyarakat dapat menimbulkan berbagai stigma buruk. Misalnya, stereotip bahwa pemilihan makanan dapat menentukan strata sosial seseorang. Hal ini dapat memperkuat perbedaan sosial dan ekonomi di lapisan masyarakat. Dampak selanjutnya, memungkinkan adanya diskriminasi dan stigma level sosial dari makanan yang mereka konsumsi. Selain itu, stereotip ini dapat membatasi akses terhadap berbagai jenis makanan yang sehat dan berkualitas bagi berbagai lapisan masyarakat yang dapat memperburuk masalah kesehatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dampak sosial lainnya termasuk perasaan rendah diri dan tekanan sosial untuk mengikuti tren makanan terkini, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik individu, serta menciptakan perilaku konsumtif yang tidak sehat.

Contoh Fenomena yang Terdampak 

Beberapa contoh stereotip pemilihan level makanan yang sering terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia adalah makanan jalanan dianggap makanan murah dan kurang sehat yang sering dikonsumsi oleh kelas bawah, sementara makanan mewah seperti kaviar dan truffle diasosiasikan dengan status sosial tinggi karena tingginya harga bahan baku. Diskriminasi di tempat kerja dan persepsi bahwa makanan mahal selalu lebih berkualitas menambah kompleksitas fenomena ini, sementara pengaruh budaya dan tradisi dapat menyebabkan hilangnya apresiasi terhadap warisan kuliner lokal. Seringkali bahan makanan impor yang memiliki nilai gizi tinggi dan kualitas baik dijual dengan harga pasaran kalangan atas, yang menyebabkan akses makanan bermutu terbatas pada kalangan tertentu.

Kesimpulan

Makanan memiliki dampak yang sangat besar dalam mencerminkan dan mempengaruhi status sosial di masyarakat. Dari segi ekonomi, sosial, hingga pengaruh influencer di media sosial, makanan bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga simbol identitas dan status. Penting bagi kita untuk menghargai keberagaman makanan tanpa terjebak dalam stereotip yang dapat menciptakan stigma buruk dan diskriminasi. Memahami bahwa setiap makanan, baik yang sederhana maupun yang mewah, memiliki nilai dan tempatnya sendiri dalam kehidupan kita. Dengan demikian, makanan dapat menjadi jembatan untuk memperkuat ikatan sosial, bukan sekadar penanda status.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun