Bu Am pamit pulang dari rumah Bicik Ros. Diperjalanan pulang pikirannya terus berkelana, Bu Am masih belum bisa berhenti mengagumi prosesi adat yang tadi dia saksikan, ditambah dengan penejelasan dari Bicik Ros yang makin membuatnya kagum dengan adat di tanah rantaunya ini. Bu Am mulai masuk kelorong kecil yang jalannya masih tanah, saat dia memilih jalan yang tidak becek untuk dilewati dan rumahnya yang dari papan itu sudah tampak dari jauh, entah mengapa tiba-tiba dia berbicara dalam hati “andai besok menantuku adalah orang asli daerah Jambi”.
Siang hari minggu yang cerah, Bu Am dan tetangganya yang lain menghadiri undangan dari Pak Do Mas’ud yang waktu itu menggelar prosesi hantaran adat untuk anak gadisnya. Hari sebelumnya sudah ada prosesi akad nikah yang hanya dihadiri oleh keluarga inti saja baru kemudian dilanjutkan dengan resepsi adat, pesta ini terbilang cukup mewah, karena Pak Do Mas’ud adalah salah satu tokoh adat dan menjabat di kantor gubernur Jambi.
Terlebih lagi istri Pak Do adalah anak dari ketua lembaga adat kabupaten Batang Hari, rumah tua mereka ada di Dusun Duren Ijo yang masih teguh menggunakan adat istiadat nenek moyang. Maka terang saja walaupun pesta resepsi diadakan di kota, pesta ini tetap mempertahankan nuansa adat yang sarat akan makna dan filosofi pada setiap prosesinya.
Resepsi dimulai dari arak-arakan rombongan mempelai pria bersama keluarganya diringi dengan seni kompangan yang disertakan dengan alunan sholawat yang dinyanyikan langsung oleh pemain kompangan lalu dilanjutkan dengan tari persembahan dan memakan sirih yang di bawa oleh penari yang biasanya diberikan kepada tokoh yang dituakan atau pemangku adat setempat, prosesi kemudian dilanjutkan dengan kato bejawab laman, lalu dilanjutkan dengan seni bukak lanse, kemudian tunjuk ajar tegur sapo yang merupakan prosesi dimana akan ada salah seorang pemangku adat yang dituakan memberikan nasihat pernikahan pada kedua mempelai.
Setelah selesai lalu akan ada beberapa orang yang membawa baki yang diatasnya ada nasi kuning dan ayam utuh yang dipanggang serta minuman yang disajikan dengan piring dan cangkir dari keramik yang indah. Hidangan tersebut dinamakan nasi sapat atau bisa juga disebut dengan nasi kuning panggang ayam. Bu Am dan tetangganya melihat setiap prosesi adat tersebut.
Suatu hari ketika pada saat Ayu sudah berusia dua puluh lima tahun, Bu Am mengajaknya berbicara. “Nduk, apa kamu ndak pernah mikirn tentang jodoh, kalau diperhatikan Mbak hanya sibuk bekerja.” pertanyaan ini sontak membuat Ayu menjauhkan jari jemarinya dari keyboard laptop. Ayu bingung sekali mau menjawab apa. Lalu, Ayu mendekati ibunya dan duduk disampingnya untuk mulai mengumpulkan kata-kata dan justru memberikan pertanyaan “emange ono opo, Mak..” jawab ayu dengan bahasa jawa. Ibunya mulai menceritakan panjang lebar tentang kekaguman beliau pada masyarakat Jambi yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan kata-kata yang sering ia dengan pada prosesi adat jambi yaitu “adat besendi syara’, syara’ besendi kitabullah.”
Setelah penjelasan panjang lebar dari ibunya lalu berkata “Mbak, kalau boleh mamak minta, menikahlah dengan laki-laki asli dari sini.” Ayu lalu terdiam dan hanya menyunggingkan senyuman tipis di wajahnya yang tirus. Di dalam hatinya dia hanya dapat membatin apakah bisa, apakah jodoh bisa ditentukan sendiri.
Kesibukan Ayu semakin banyak, karena minggu ini adalah jadwal penerimaan siswa baru di sekolah tempatnya bekerja, jadwal tersebut bertepatan dengan penerimaan calon pegawai negeri di daerah itu sehingga banyak alumni yang melegalisir ijazahnya untuk keperluan pendaftaran.
Tanpa disadari oleh Ayu ada seseorang yang dari tadi memerhatikannya. Kemuadian malamnya Ayu menerima pesan singkat dari teman guru di sekolah itu. Teman tersebut meminta izin padanya agar dapat mengirimkan nomor ponselnya ke orang yang tadi datang kesekolah.
Dalam keadaan yang cukup lelah Ayu langsung meng iya kan saja permintaan temannya tersebut.
Keesokan harinya selalu ada pesan yang berisi kalimat menyemangati dan akhirnya permintaan untuk berteman.