Perahu Hantaran
Langit mendung di pagi itu tak menyurutkan langkah Bu Am dan anaknya Ayu untuk pergi kesekolah SDN Kota Baru. Setiap pagi Bu Am rela meninggalkan pekerjaan rumahnya, mengambil waktu sekitar setengah jam untuk mengantar anak perempuannya kesekolah. Melewati jalan setapak lalu menyeberangi jalan besar dan lorong kecil perumahan padat penduduk, lalu mereka sampai ketempat tujuan.
Ayu menyalami ibunya dan langsung mengatakan “mamak langsung balek lah, Ayu berani masuk dewek” ibunya pun segera balik badan dan jalan kearah pulang, mereka saling berpandangan sambil melambaikan tangan, sang ibu menunggu sampai anaknya benar-benar masuk ke pekarangan sekolah.
Langit mulai meneteskan butiran-butiran kecil, Bu Am membuka payung kecil yang ia selalu bawa saat pergi mengantar atau menjemput anaknya kesekolah. Sampai di ujung lorong kecil Bu Am penasaran dengan apa yang dilihatnya. Didepan lorong sudah banyak sekali mobil yang berhenti, penumpang yang turun dari mobil-mobil itu masing-masing membawa bingkisan yang dihias cantik sekali berwarna-warni dan isinya juga di bentuk dengan rapi dan cantik sekali.
Dari semua bingkisan yang Bu Am lihat ditepi jalan itu berhenti kendaraan bak terbuka yang membawa replika perahu yang cukup besar dengan ornamen yang indah bertuliskan “Sekintang Dayo”. Bu Am mengerinyitkan keningnya, banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya kala itu. Rombongan yang membawa bingkisan berjalan beriringan dengan rapi dan perlahan melewati lorong. Bu Am mengamati rombongan yang lewat itu dengan segala pernak-pernik bingkisan yang mereka bawa. Sungguh momen tersebut menyilaukan mata.
Bu Am melihat seperangkat alat sholat, perhiasan, tas, sepatu, kain, songket, aneka kue yang menggugah selera namun ada rasa tak tega untuk memotongnya karena bentuknya sangat menarik, lalu rombongan yang ada di barisan akhir adalah perahu besar yang sangat indah.
Setelah semua rombongan melewati Bu Am yang berdiri mematung. Bu Am mengedip-ngedipkan mata lalu menyeberang jalan. Diseberang jalan Bu Am bertemu dengan Bicik Ros yang berjalan santai dengan membawa bungkusan berisi sayur untuk dimasak dihari itu.
Bu Am menegurnya “habis belanjo, bicik” lalu Bicik Ros menjawab “Iyo, Bu Am, ngantar anak gadis yo.” Lalu Bu Am menjawab sekaligus mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi muncul dalam pikirannya. “Iyo, biaso lah rutinatas pagi. Oh iyo cik, itu tadi sayo nengok rombongan bawa barang-barang banyak nian kerumah yang di ujung jalan yang minggu depan mau nikahkan anaknyo. Acara adat yo itu Cik? apo namonyo? Soalnyo dikampung sayo dak kayak gitu.” Bicik Ros lalu berhenti di depan rumahnya dan mengajak Bu Am duduk di teras rumahnya. Bicik menjelaskan bahwa apa yang Bu Am lihat adalah prosesi hantaran adat yang merupakan tahap kedua dalam prosesi pernikahan orang Jambi khususnya yang berasal dari salah satu Dusun di Kabupaten Batang Hari.
Sebelum hantaran sudah ada prosesi duduk berunding yaitu menanyakan kesediaan pihak calon mempelai perempuan untuk menerima lamaran dari pihak calon mempelai laki-laki. Prosesi ini biasanya juga dibarengi dengan prosesi lamaran. Nah yang mengantar barang-barang dari mulai kebutuhan isi kamar sampai dengan kebutuhan dapur atau dalam istilah daerah sini disebut dengan selemak semanis, semua hantaran ini adalah hak calon mempelai perempuan dan sudah disepakati oleh kedua belah pihak.
Isi hantaran disesuaikan dengan kemampuan calon mempelai laki-laki karena tidak ada standar atau paksaan dalam pemberian barang-barang hantaran ini semua sudah berdasarkan hasil perundingan kedua belah pihak keluarga besar.
Bu Am menyimak penjelasan dari Bicik Ros yang merupakan orang asli daerah Jambi, bicik lahir dan besar di daerahnya sendiri sedangkan Bu Am adalah pendatang yang merantau di daerah ini. Walaupun sudah lama merantau dari mulai usianya tujuh tahun . Namun, Bu Am tak banyak mengetahui mengenai adat daerah sini karena dia merupakan perantau dan suaminya juga merupakan pendatang yang merantau dari pulau Jawa.