Meski aku menjadi sangat sibuk, aku tetap berusaha untuk mempertahankan motivasi. Aku tidak pernah memperlihatkan rasa lelah ketika aku sampai dirumah. Aku ingin selalu menjadi teladan bagi adik-adik ku, sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh ibuku, bahwa jika sudah sampai dirumah, aku harus meninggalkan masalah yang terjadi dikantor, ini juga berlaku untuk ayahku.
Satu tahun berlalu, aku menjalani hari-hari dengan ritme kerja yang sudah sangat aku nikmati. Saat aku mulai jenuh, aku akan mengajak teman-temanku pergi bersama, hanya untuk sekedar nonton atau karoke, yang penting dapat menghilangkan penat. Tak jarang juga aku mengerjakan skripsi bersama teman-temanku pada hari libur.
Pada saat tugas kuliah dan skripsi ku hampir rampung dikerjakan, intensitasku dalam bekerja sudah mulai turun. Aku mengutarakan hal ini pada bosku. Aku berharap mereka mengerti posisiku, aku juga mengajukan cuti beberapa bulan agar dapat fokus pada skripsi ku. Namun ternyata mereka tidak mengizinkan ku untuk cuti. Alhasil, konsistensi ku dalam mengajar tak lagi sama dengan sebelumnya. Terang saja ini disebabkan karena aku lebih menitik beratkan perhatianku pada skripsiku. Aku berprinsip bahwa skripsi ku lebih penting karena kuliah ku ini dibiayai oleh ayahku sepenuhnya. Aku tidak ingin orang tua ku kecewa, ayahku adalah seorang pegawai negeri biasa dari lulusan sekolah tingkat menengah atas. Maka beliau sangat berharap anak-anaknya dapat menamatkan S1, setingkat diatas ijazah yang dia miliki.
Sebelum wisuda aku mendapatkan surat peringatan pertama dari lembaga tersebut. Aku memang sudah izin selama satu minggu. Ternyata izin ku lewat dari itu, rekan ku dikantor menghubungi ku dan meminta ku untuk datang menemui bosku. Aku tidak datang karena memang sangat sibuk dengan revisi proposal dan hari-hari menjelang sidang skripsi.
Hari yang dinantikan akhirnya tiba, aku diwisuda dengan predikat sangat memuaskan. Walaupun masih ada yang lebih tinggi nilainya, aku tetap bahagia karena aku menghargai setiap proses yang aku lewati.
Keesokan harinya, rekan kerjaku datang kerumah, aku menyambutnya dengan hangat. Saat itu kami duduk berhadapan. Dia mulai bicara.
“Mbak, kesini karena diminta untuk menyampaikan surat ini. Ibu bos bilang kamu banyak mangkir dan tidak mengangkat telepon kemarin.”
Aku lalu tersenyum sambil menerima amplop putih dengan kop lembaga yang sudah tidak asing lagi bagiku.
“Iya mbak, saya paham sekali dan siap menerima semua kemungkinan isi yang ada dalam surat ini.” Jawabku santai.
Aku menatap rekan kerja ku yang usianya hanya selisih sedikit dengan ibuku. Matanya mulai merah, ada air yang mulai terbendung disudut matanya. Aku siap menerima curhatan untuk kesekian kalinya.
“Mbak sebenarnya ingin kamu tetap bekerja, mbak tinggal sendirian, dua minggu ini mbak sedih menatap meja mu yang kosong. Tidak ada lagi canda tiap pagi, tidak ada lagi tukar-tukaran bekal makanan disiang hari. Mbak pun sudah seminggu ini menyewa ojek untuk membagikan brosur kesekolah-sekolah sendirian.”